Mardiah Alkaff

Bersatu Sangkuriang dan Dayang Sumbi (Legenda Bukit Kapur Citatah Bandung Barat)

Sangkuriang marah  karena  pernikahannya dengan Dayang Sumbi  tidak terlaksana. Hingga menendang perahu. Dan jadilah  Gunung Tangkuban Perahu sampai saat ini.

Namun  tidak putus harapan. Sangkuriang berlari dan meloncat, mengejar Dayang Sumbi. Hingga  ia sampai di sebuah sungai. Tempat ini, kini diberi nama Ciluncat. Luncat artinya loncat dan berlari. Namun, Dayang Sumbi menghilang diselamatkan penduduk langit.

Kemarahan Sangkuriang bertambah besar. Dia terus berlari mencari sang pujaan hati. Dengan kecewa, sampailah ia di bukit kapur yang subur. Ia meluapkan kemarahan dengan memporakporandakan isi rumahnya. Dapur pun menjadi sasaran.

Sampai saat ini terkenal dengan nama Gua Pawon. Pawon artinya dapur.

Peralatan dapur diacak-acak oleh Sangkuriang. Hingga wadah beras terlempar menjadi Gunung Pabeasan. Pabeas artinya beras.

Tungku ditendang dan diriwayatkan menjadi Gunung Hawu. Hawu artinya tungku untuk memasak. Wajan  dilemparkan hingga dikenang menjadi pasir Kancah Nangkub artinya wajan yang terbalik. Wajan itu berisi bubur hingga tersisalah sebagian nasi dan sayur maka menjadi nama sungai yaitu Cibukur.

Bayangan Dayang Sumbi masih menghantuinya, dengan dada yang turun naik dan muka merah, Sangkuriang menarik kalung permata yang akan dipersembahkan untuk  kekasihnya itu.  Bende dan ketuk untuk tetabuhan pun ditarik. Dia meninggalkan rumah dengan kesal dan marah.

Sampai di taman belakang rumah. Pemandang bukit terhampar sangat mempesona. Bertabur batu kapur yang berkilau. Berhias fosil hewan laut yang mengukir batu. Sebuah taman batu purba. Tempat ini terkenal dengan Wisata Taman Batu atau Stone Garden.

Di taman, Sangkuriang memanjat batu yang paling tinggi. Melayangkan pandangan ke seluruh arah. Harapan bisa menemukan sang pujaan hati.

“Tuhan, pertemukanlah aku dengan kekasihku,  karena aku sangat mencintai Dayang Sumbi!”

Itulah rintihan yang tak henti  diucapkan oleh Sangkuriang. Ia menerawang dan mengamati dari ketinggian untuk bisa menemukan orang yang dicintainya. Dan kini,  batu itu disebut Puncak Panyawangan.

Namun, Dayang Sumbi tak kunjung datang. Akhirnya, “Pluuung, heong,” kalung permata ungu dilemparkan sampai ke sebuah bukit. Tempat ini hingga sekarang dikenang menjadi Pasir Manik. Pasir artinya bukit dan manik artinya perhiasan.

Peralatan kesenian pun dilempar sangat jauh dan menjadi sebuah gua, yakni Gua Ketuk dan Pasir Bende. Karena kelelahan yang teramat, Sangkuriang tertidur di Puncak batu purba itu.

Dari balik awan hitam, sepasang mata sayu berjenggot putih mengamati. “Kasian anakku, namun aku tak mampu menjaganya. Tiba-tiba, “Seung, seung, brag!” dari balik awan, bermunculan  kera.

“Terimalah tujuh ekor kera untuk menjagamu, wahai anakku,” suara lembut datang dari balik awan kelabu.

Matahari muncul dari balik awan, pemandangan dari  Puncak Panyawangan bagai taman surga. Semilir angin bukit membuat mata Sangkuriang terbuka.

“Siapa kalian?” suara Sangkuriang mengagetkan kera.

“Kami utusan langit untuk menemanimu,” sahut kera yang paling besar.

“Silakan nikmati makanan dan buah-buahan,”  lanjut Bibisana, pemimpin kera yang bijaksana dan baik hati. Anak Dayang Sumbi itu menikmati sarapan dengan lahap.

Mentari makin mendekat hingga memancarkan kehangatan. “Terima kasih sahabatku.” Sangkuriang mengakhiri sarapannya sambil berdiri.

“Bibisana, maukah kau menemaniku untuk mencari kekasihku?”

“Dengan senang hati paduka, kami akan menjadi sahabat setiamu,” sahut kera dengan suara lantang.

Mereka berjalan beriringan dengan penuh canda. Sangkuriang memimpin barisan.  Hingga sampailah mereka di sebuah bukit yang menjulang.

“Lihat puncak itu kawan!” Sangkuriang menunjukkan sebuah kubah masjid.

“Wow, indah sekali,” sahut Kera.

“Di puncak itu aku membangun masjid untuk melangsungkan akad pernikahanku dengan Dayang Sumbi,” jelas Sangkuriang dengan raut muka yang layu. Bukit itu masih ada sampai saat ini dan terkenal dengan Gunung Masigit.

Perjalanan pencarian pujaan hati pun dilanjutkan. Bukit kapur dengan hamparan pohon yang menghijau mereka lalui diiringi dengan lelucon. Karena Bibisana dan kawannya pandai menghibur dengan celotehan  lucu.

Tiba-tiba, langkah Sangkuring terhenti. Karena pantulan  matahari dari pipinya, butiran air bagai permata pu berjatuhan.

“Wah, mengapa sahabatku bersedih?” suara Bibisana hampir tak terdengar.

Dia mendekati sahabatnya.

“Tempat ini telah aku persiapakan untuk resepsi pernikahanku,” dengan suara terbata-bata Sangkuriang menjelaskan. “Aku sudah mengatur  untuk acara saweranannya juga,” suara pemuda tampan itu makin menghilang. Wajahnya yang putih dan menawan kini basah dengan butiran air. Bayangan  Dayang Sumbi makin menghantuinya.

Tempat ini diberi nama Gunung Karang Panganten.  Dua buah batu lambang dua orang yang menikah. Di sekitarnya terdapat bukit Kiara Payung dan air terjun yang dikenal dengan nama Curug Sawer.

Melihat sahabatnya yang sangat berduka, Bibisana dan kera lainnya berusaha menenangkan. “Sahabat, kami sangat mecintaimu, kami tak tega melihatmu terus berduka.” Bibisana membuka pembicaraan.

Meraka duduk melingkar di atas batu kapur yang penuh lumut. Sangkuriang menghapus air di mukanya.

“Sahabatku, semua ini adalah suratan takdir, kita harus bisa menerimanya. Bukankah Dayang Sumbi adalah ibu kandungmu?”

“Apa? dia adalah orang tuaku? tidak mungkin! pasti kalian bohong!" suara pemuda itu membentak karena kaget.

“Kami berkata jujur, kami adalah utusan penduduk langit. Ayahmu, Si Tumang telah kamu bunuh juga.” Bibisana mengingatkan sahabatnya.

“Tidak! Tidak!” Sangkuriang berteriak sambil berlari melintasi bukit dan kebun.

“Tidak mungkin!”

Suara menggelegar membuat burung di atas pohon berhamburan. Bibisana dan yang lainnya terus mengikuti  Sangkuriang. Hingga sampailah ia di sebuah bukit. Di atas batu besar dia merenung. “Hiks, hiks,” tangisan Sangkuriang membuat semua sahabatnya ikut berduka.

“Wahai kera-kera yang baik hati, tolong ambilkan sembilan lembar daun waru!” suara lemah memecahkan kesunyian. Secepat kilat kera-kera menyerahkan permintaanya.

“Untuk apa daun waru ini?” wajah kera tertegun penuh keheranan.

Sangkuriang menuliskan semua kesalahnnya di daun waru.  Rupanya dia menyesali perbuatannya. Karena telah membuat bencana untuk orang yang dicintainya, rumahnya dan juga lingkungannya.  Sampai kini, bukit ini terkenal dengan nama Gunung Bancana.

Matahari hampir tenggelam. “Bibisana, mari kita pulang!” langkah lemah Sangkuriang diikuti oleh ketujuh sahabatnya.  Di bukit batu yang indah, mereka hidup bahagia.

Angin sejuk, sinar surya yang lembut menembus rumah Sangkuriang. Tiba-tiba, “blak, dug, dag,” jantung Sangkuriang berdetak sangat cepat. Di hadapannya ada perempuan dengan rambut terurai. Wajah putih, senyum merekah, membuat orang memandang tak berkedip. 

Dayang Sumbi datang menghampiri Sangkuriang, anaknya.

Suara yang lembut  menyapa, “Sangkuriang, anakku, kemarilah sayang.“ Setengah loncat, pemuda tampan menghampirinya.

“Bunda, bunda, maafkan anakmu. Maafkan aku.” Sangkuriang mencium tangan lembut dan memeluk tubuh Dayang Sumbi dengan wajah yang penuh butiran air.

Sejak saat itu, mereka hidup bersama dan sangat bahagia. Berteman dengan tujuh ekor kera. Puluhan kelelawar dengan rutin mengirim buah-buahan  dari cerobong asap rumahnya. 

Bertahun-tahun, Sangkuriang dan Dayang Sumbi hidup di tempat yang luas bagai surga.

Buah-buahan dan sayuran sangat subur. Karena di dekatnya terdapat sumber air Situ Ciburuy. Mereka dengan tulus dan penuh cinta, memelihara bukit kapur peninggalan zaman purba.

Matahari hampir tenggelam, membuat batu di bukit kapur terlihat samar. Suara lembut Dayang Sumbi  memecahkan suasana.

“Anakku dan semua sahabatku, kera dan kelelawar, aku menitipkan bukit kapur Citatah untuk dijaga dan dipelihara. Karena, semua adalah titipan dari Sang Pencipta untuk kita rawat. Jangan sampai hancur dan rusak. Aku tidak ingin ada bencana yang besar dan dahsyat menimpa kalian.”

Tidak lama kemudian, Dayang Sumbi menutup mata untuk selamanya. Dia dimakamkan di puncak bukit belakang Gua Pawon.  Di puncak Stone Garden yang disebut Patilasan.  Apakah Patilisan itu makam Dayang Sumbi? Hanya kera dan kelelawar yang menyimpan rahasia itu.

Sepeninggal ibunya, Sangkuriang berduka. Dia sering bersemedi di kamarnya. Pada suatu hari, ia berkata, “Sahabatku, jika aku mati kelak,  makamkan aku di sini!” Sangkuriang berpesan pada kera dan kelelawar sambil menunjuk tempat yang biasa dipakai berdo’a olehnya.

Dua puluh tahun yang lalu, di Gua Pawon, telah ditemukan fosil rangka manusia. Apakah ini, rangka Sangkuriang? Hanya kera dan kelelawar yang mengetahui semuanya.

Sampai saat ini ratusan kera dan kelelawar setia menunggu Sangkuriang dan Dayang Sumbi. Tempat kejadian Dayang Sumbi dan Sangkuriang, kini menjadi wisata yang sangat indah di Citatah Bandung Barat.

Gua Pawon, Taman Batu (Stone Garden), Gunung Masigit, Gunung Hawu, Gunung Pabeasan, Gunung Bancana, Karang panganten, Curug Sawer dan yang lainnya. Sampai saat ini terus dijaga dan dipelihara agar tetap lestari.  Agar tidak terjadi bencana besar seperti yang dipesankan oleh Dayang Sumbi.


PENULIS

Mardiah Alkaff

ASAL CERITA

Bandung Barat

BAHASA

Bahasa Indonesia

KATEGORI

Cerita Rakyat

LABEL

Tidak Ada Label
Favorit

SEMUA TANGGAPAN

v: 2.2.1