Novie Anggraeni

Asal Mula Desa Kerantai

Suatu hari, di sebuah desa, terjadi perpecahan masyarakat. Hal tersebut membuat masyarakat terbagi menjadi tiga kelompok. Salah satu kelompok di antaranya dipimpin oleh seorang tokoh masayarakat yang sangat dipandang dan dihormati. Karena perpecahan tersebut, akhirnya mereka memisahkan diri dan membentuk pemukiman baru di dalam hutan.

Hari demi hari kelompok yang berkisar tiga puluh orang tersebut mulai bergotong-royong membangun rumah-rumah di hutan. Para lelaki bertugas menebang pohon dan mencari kayu, sedangkan perempuan bersama-sama menganyam daun rumbia. Kayu-kayu yang ada di hutan mereka membangun tiang-tiang rumah. Anyaman daun rumbia mereka menyusun atap-atapnya. Tanpa perlu waktu yang lama, rumah-rumah sederhana sudah berdiri dengan kokoh dan membentuk sebuah desa kecil.

Semakin hari, desa tersebut semakin ramai dikunjungi masyarakat desa lain. Ada yang hanya sekedar mampir beristirahat. Tak jarang juga ada yang sengaja datang untuk membeli hasil perkebunan dan berdagang. Setiap hari masyarakat desa mengisi waktu mereka dengan bertani dan berkebun. Selain itu juga mereka memanfaatkan keterampilan menganyam untuk membuat tikar anyaman bambu dan kayu serta anyaman daun rumbia.

Pada suatu masa, terjadi kemarau yang sangat panjang. Kurang lebih selama sembilan bulan hujan tidak turun membasahi daerah tersebut. Masyarakat mulai gelisah, kebun-kebun mereka mulai kekeringan. Mereka berdoa siang dan malam tak henti-hentinya memohon kepada Tuhan agar diturunkan hujan.

Suatu ketika, tokoh pemimpin masyarakat bermimpi didatangi oleh seorang kakek tua berjenggot putih panjang senada dengan warna gamis panjang yang ia kenakan. Dalam mimpi tersebut, kakek tua tersebut berkata, “Datanglah ke sungai dengan gendang dan gong berantai emas di tangan kalian. Menari dan bernyanyilah disana sembari memohon kepada Tuhan. Niscaya akan turun hujan dari langit.”

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, sebelum masayarakat mulai beraktivitas ke kebun dan hutan, tokoh tersebut mengumpulkan warganya.

“Wahai Bapak Ibu sekalian, maafkan aku telah mengganggu waktu kalian untuk berkumpul pagi ini.”

“Ada apa gerangan Tuan mengumpulkan kami pagi-pagi sekali? Apakah ada sesuatu hal yang penting?” tanya salah seorang warga.

“Aku tidak tahu apakah kalian mempercayai hal ini atau tidak, tetapi aku harus menyampaikan mimpiku semalam kepada kalian.”

Warga yang mendengar ucapan tokoh tersebut semakin penasaran. Hingga akhirnya mereka mendengar cerita mimpi tersebut. Beberapa di antara mereka ada yang tidak mempercayainya, namun mereka tidak punya pilihan lain akibat dari kemarau yang berkepanjangan ini.

Dengan penuh harapan  mereka mulai mempersiapkan barang-barang yang diperlukan. Tanpa menunggu waktu lama, mereka beramai-ramai pergi ke sungai  yang hampir kering membawa gendang beserta gong berantai emas seperti yang diminta kakek pada mimpi semalam. Perempuan-perempuan desa juga datang dengan mengenakan pakaian terbaik mereka yang berwarna-warni.

Jalan menuju sungai hanya melalui jalan setapak. Kiri dan kanan jalan masih dipenuhi semak. Tak jarang beberapa akar pohon yang besar merambat dan menghalangi jalan. Mereka yang melewatinya harus berhati-hati jika tak ingin tersandung dengan akar-akar pohon tersebut.

Setelah melewati perjalanan yang cukup panjang akhirnya sampailah warga desa di sebuah sungai. Sungai tersebut memiliki air mengalir yang cukup tenang. Di kiri dan kanan sungai terlihat pasir dan barisan batu-batu sungai. Padahal dulunya sungai tersebut memiliki aliran air yang deras dan cukup dalam sehingga barisan bebatuan pun tak terlihat. Namun, kini sungai itu sudah mulai kering akibat kemarau yang panjang.

Sesampainya di sungai, warga langsung duduk bersila membentuk lingkaran di pinggir sungai untuk bersiap-siap menjalankan ritual. Para penabuh gong dan gendang berada di pinggir, sedangkan gadis-gadis penari yang berbaju warna-warni sudah berdiri dan bersiap di tengah lingkaran. Tak ketinggalan tokoh pemimpin pun bersiap di tengah lingkaran untuk memimpin ritual.

Di tengah-tengah lingkaran tersebut ia menengadahkan tangan ke langit, mulutnya mulai komat-kamit membaca doa. Tak lama kemudian disusul bunyi tabuhan gendang dan gong yang amat amat keras, para penari pun mulai bergerak sesuai irama. Sedangkan warga yang lain masih duduk melingkar sembari terus berdoa agar turun hujan.

Tak berapa lama awan gelap mulai berkumpul dan menutupi langit di atas sungai tersebut. Tiba-tiba, tetes-tetes kecil air pun turun dari awan. Ternyata ritual tersebut berhasil. Melihat hal itu warga yang tadinya duduk mulai bersorak dan ikut menari kegirangan.

Lama-kelamaan air hujan yang turun semakin lebat, diikuti petir yang menyambar-nyambar. Aliran sungai menjadi sangat deras dan air pun mulai meluap. Warga mulai panik dan segera lari berhamburan menuju desa, beberapa di antaranya hanyut oleh arus sungai yang deras sehingga tak dapat menyelamatkan diri. Semua gong dan gendang berantai emas pun ikut hanyut terbawa arus sungai tanpa bisa ditemukan.

Demikianlah cerita asal mula Desa Kerantai yang ada di Kabupaten Bangka Tengah yang menjadi dasar penamaan desa tersebut. Penamaan Kerantai berasal dari kata “Ke” yang artinya pergi dan “Rantai” dengan maksud beramai-ramai. Sehingga Kerantai berarti pergi beramai-ramai.


PENULIS

Novie Anggraeni

VERSI SUARA

00:00
00:00

ASAL CERITA

Bangka Tengah

BAHASA

Bahasa Indonesia

KATEGORI

Cerita Rakyat

LABEL

Tidak Ada Label
Favoritkan
v: 2.2.1