Bulan terlihat sangat terang menyinari seluruh jagat raya yang ada di bumi pertanda kalau malam itu adalah malam bulan purnama. Di satu kampung di daerah Mandalawangi, tepatnya di Kampung Cilambungan (ada yang menyebut Cilampungan) terlihat sesosok perempuan yang cantik jelita, yang membuat hati dan perasaan lelaki manapun tertarik dan seakan membuat pepohonan yang ada dihutan pun menunduk seakan-akan memberi hormat kepada sang puteri dan buah-buahan tiba-tiba menjadi matang setelah dilewati oleh sang puteri, yang ternyata adalah Putri Grajati anak dari Sanghyang Kanali Putih. Sang Putri memiliki kebiasaan, apabila bulan purnama tiba, ia menyempatkan mandi di telaga Cilambungan di dekat sungai Cilemer.
Ketika Putri Grajati tengah mandi di telaga dan sedang merasakan sejuknya air telaga, tiba-tiba ada buah yang mengalir ke hilir, hanyut terbawa aliran telaga tersebut, bertepatan dengan hanyutnya buah tesebut, tiba-tiba alam sekitar menjadi gelap gulita. Tak berapa lama, dalam kegelapan malam, keluarlah cahaya terang yang di dalamnya nampak sesosok pemuda yang berparas tampan, seraya berkata, “Aku adalah Dewa Putra, ambillah buah ini, dan segeralah makan!”. Putri Grajatipun kaget bukan kepalang, dengan diliputi rasa heran Sang Putripun memakan buah tersebut, setelah memakan buah tersebut anehnya suasana kembali terang seperti sedia kala. Putri Grajati pun kemudian pulang kembali ke rumahnya.
Hari berganti minggu, minggu berubah menjadi bulan, Sang Putri Grajati merasakan ada yang berubah pada dirinya, perutnya buncit seperti orang yang sedang hamil. Semakin hari perut Sang Puteri semakin besar, sampai tiba saatnya setelah sembilan bulan, Sang Putri melahirkan bayi lelaki kembar, yang diberi nama Tanumaja dan Tanuwangsa. Anak-anak Puteri Grajati, tumbuh dengan baik dan sehat.
Suatu ketika Puteri Grajati membawa kedua putranya ke telaga Cilambungan. Selama perjalanan ke telaga Cilambungan, di tengah perjalanan, terlihat ada empat burung merak yang mendekati Puteri Grajati dan anak-anaknya, seakan-akan ingin bercanda dengan mereka.
“Binatang apa itu ambu?” tanya Tanumaja dan Tanuwangsa berbarengan.
“Oooooh itu namanya burung merak, sayang.” Putri Grajati menjawab pertanyaan kedua anaknya tersebut sambil mengelus kedua kepala anaknya.
“Kenapa burung itu ada empat?” tanya Tanumaja
“Iya sayang, yang dua ekor adalah anaknya kemudian yang dua ekor lagi adalah induknya, yaitu bapak sama ibunya.” kata Putri Grajati
“Burung itu punya bapak dan ibu, kenapa kami tidak mempunyai bapak? Ada dimana sekarang bapak kami, ambu?” Tanumaja dan Tanuwangsa bertanya sambil mengusap airmata yang turun dikedua pipinya.
Mendengar pertanyaan kedua anaknya tersebut, Putri Grajati merasa sedih dan termenung sejenak, terlihat kebingungan dalam menjawab pertanyaan anak-anaknya tentang keberadaan ayahnya. Sang Puteri pun menjelaskan bahwa ayahnya susah untuk ditemui, karena ayahnya adalah Dewa di Kaindran.
“Nanti kalian akan tahu siapa ayah kalian. Ibu akan bertapa dulu untuk dapat petunjuk dari Sanghyang Widi" ujar Putri Grajati kepada kedua anaknya.
Ketika matahari mulai terbenam dan langit mulai gelap, Putri Grajati melakukan semedi meminta petunjuk dan memohon kepada Sang Mahakuasa Batara Guru untuk dipertemukan dengan suaminya, tak lama kemudian Sang Mahakuasa Batara Guru datang menjelma dihadapan Putri Grajati, dan memberi petuah kepada Putri Grajati bahwa kalau kedua anaknya ingin tahu dan bertemu dengan ayahnya maka mereka harus datang ke sungai Cilemer dan mencari ikan besar yang ada di sungai tersebut. Setelah memberikan petuah tersebut, menghilanglah Sang Mahakuasa Batara Guru. Akhirnya Putri Grajati memerintahkan anaknya untuk mencari ikan berukuran besar di sungai Cilemer.
Pagi harinya setelah ayam berkokok dan matahari mulai memancarkan sinarnya diiringi dengan suara burung dan berbagai binatang pagi yang seakan mengantarkan Tanumaja dan Tanuwangsa pergi ke sungai Cilemer, sesampainya disana mereka berdua turun ke sungai seperti orang yang akan mandi. Datanglah seekor ikan besar mendekat ke arah mereka dan tiba-tiba ikan besar tersebut menjelma menjadi seorang Dewa yang begitu tampan rupawan dan dengan hati yang kaget serta perasaan yang tidak menentu, mereka berdua menyembah Dewa tersebut sambil masih merasa bingung dan bertanya-tanya didalam hati siapakah gerangan Dewa tersebut. Kemudian Dewa tersebut berkata dengan suaranya yang berwibawa tapi dengan penuh rasa kasih sayang kepada Tanumaja dan Tanuwangsa.
“Tanumaja dan Tanuwangsa, anakku, ini adalah abah kalian yang selama ini selalu kalian tanyakan ke ibu kalian, maafkan ayahmu ini, kodrat dari Sang Mahakuasa harus seperti ini kisah hidup kita, harus terpisah karena abah tidak bisa hidup bersama kalian. Semoga kalian selalu berbahagia, doa abah selalu menyertai kalian.”
Penuh dengan rasa rindu yang tidak terkira, Sang Dewa memeluk Tanumaja dan Tanuwangsa sambil bertangisan, setelah itu Tanumaja dan Tanuwangsa pulang kembali ke rumahnya bersama sang Dewa yang telah menjelma menjadi sesosok ayah yang penuh kasih saying, diiringi dengan terdengarnya suara angin yang gemuruh dan hujan yang turun rincik-rincik mengiringi langkah mereka bertiga, dan sejak saat itu mereka menjadi keluarga yang lengkap.
Waktu berjalan tanpa terasa dengan begitu cepatnya, sehingga tumbuhlah Tanumaja dan Tanuwangsa menjadi dua pemuda yang sangat tampan rupawan. Setelah mereka menginjak usia dewasa, Tanumaja dan Tanuwangsa berkeinginan untuk mengembara untuk mencari ilmu dan mereka berdua memohon untuk menimba ilmu di Kutatambaga, di Banten Girang. Ibunda dan ayahnya berpesan, ketika kedua anaknya hendak berkelana menuntut ilmu.
“Tanumaja dan Tanuwangsa, ambu ikhlas dan ridho kalian pergi untuk mencari ilmu di negeri orang, hati-hati dijalan, harus bisa membawa diri dimanapun kalian berada.
“Ulah mipit teu amit. Ulah agul ku rahul gagah ku carita” (harus selalu rendah hati dan jangan berbicara dan bersikap sombong dengan siapapun).
“Wasiat dari Abah, jangan sampai kalian lupakan. Pesan yang pertama, jangan sekali-kali nindes (membunuh dengan cara menekan kuku ibu jari) kutu (pulex irritans, latin) di atas batu besar, dan pesan yang berikutnya adalah jangan sekali-kali mandi di pesisir pantai dan berteduh di bawah pohon durian. Cepatlah pergi selagi hari masih pagi. Abah dan Ambu selalu berdoa untuk kalian maupun siang dan malam. Dan jangan sampai lupa dengan wasiat dari Abah dan Ambu”.
Tanumaja dan Tanuwangsa memeluk ibunya, dengan perasaan sedih dan akhirnya mereka pergi dan ibunya masih terus menangis melihat Tanumaja dan Tanuwangsa menghilang dari hadapannya.
Waktu terus berputar, hari demi hari, minggu demi minggu dan bulan demi bulan Tanumaja dan Tanuwangsa terus berjalan mengembara dari satu desa ke desa yang lainnya menuju desa Kutatambaga, hingga pada suatu ketika mereka berdua bermain ke tepi pantai bersama rekan-rekannya. tatkala beristirahat di atas batu besar, seraya mencari kutu di rambut milik adiknya, dia lupa akan pesan ayah dan ibunya, lalu ditindes (dibunuh) kutu tersebut di atas batu besar oleh adiknya dan tidak lama kemudian Tanuwangsa berdiri sambil melihat-lihat sekitarnya dan ketika melihat laut, karena merasa panas dan ingin mandi maka berlarilah Tanuwangsa menuju laut tersebut dan akhhirnya berenang, lupa akan semua pesan dan amanat yang ayahnya berikan sesaat sebelum pergi mengembara. Merasa khawatir dan teringat dengan wasiat dari ayahnya, Tanumaja berlari menyusul adiknya tetapi semuanya telah terlambat karena ternyata Tanuwangsa sudah menjadi sebuah batu disebabkan berenang di laut dan berteduh di bawah pohon durian. Melihat adiknya menjadi batu, sang Kakak lantas ingat akan pesan ayah ibunya, dia lalu berencana pulang untuk menceritakan hal tersebut.
Namun alangkah terkejutnya anak itu, di tempat ibu bapaknya sudah menjadi hutan yang lebat sekali, dan mencari ibunya, sambil berlari-lari kesana kemari memanggil ibunya tetapi tidak ada dan yang tampak di dalam reruntuhan rumah hanyalah dua buah meriam yang teronggok di bawah pohon purut, tersadarlah Tanumaja bahwa kedua meriam tersebut adalah jelmaan dari ayah dan ibunya. Sambil menangis terisak-isak dan memeluk kedua Meriam tersebut Tanumaja menjerit dan suaranya seakan-akan terdengar sampai ke ujung langit ketujuh, hanya ada dua buah meriam yang berukuran besar.
“Ambu… Ambu… maafkan Tanumaja dan Tanuwangsa, Ambu… kami sudah melanggar petuah dan wasiat dari Ambu dan Abah. Tanuwangsa sudah menjadi batu karena berenang di laut dan berteduh di bawah pohon durian.” Tanumaja terus menangis terisak-isak sambil memeluk kedua meriam tersebut.
Akhirnya kabar keberadaan meriam di Mandalawangi terdengar oleh Sultan Banten, lantas Sang Sultan memerintahkan para punggawa yang disebut dengan Gulang Gulang, mengambil meriam tersebut tetapi tidak ada satupun yang bisa mengangkat meriam itu, saking beratnya, maka akhirnya punggawa kembali ke Kesultanan dan memberi saran agar Sultan membuat sayembara untuk mengangkat meriam tersebut. Dengan persyaratan kalau seorang perempuan akan diangkat menjadi anak tetapi kalau laki-laki maka akan dinikahkan dengan anak Sultan. Agar meriam dibawa ke hadapannya, tapi tidak ada yang mampu mengangkat meriam tersebut. Akhirnya diadakan sayembara oleh Sultan, barang siapa yang dapat mengangkat meriam ke hadapan sultan, akan dinikahkan dengan puteri tunggal sultan, serta diberikan sebagaian kerajaan di sebelah timur. Akhirnya berdatanganlah orang-orang untuk mengikuti sayembara tersebut tapi tetap saja tidak ada satupun yang mampu mengangkat meriam tersebut,hingga datanglah seorang jejaka, yang ternyata Tanumaja, putra Sang Putri Grajati, mampu membawa meriam tersebut.
Tanumaja akhirnya berhasil mengangkat meriam tersebut dan membawa meriam tersebut ke Kesultanan bersama dengan para punggawa. Di tengah perjalanan, Tanumaja mengajak para punggawa beristirahat karena merasa capek setelah berjalan begitu jauhnya sambil mengangkat meriam tersebut. Akhirnya Tanumaja duduk dibawah pepohonan sambil menyimpan kedua meriam tersebut, tiba-tiba angin bertiup sangat kencang seakan tak mau disimpan di tempat tersebut, meriam itu mengamuk dan menumbangkan pohon-pohon durian, tak ada yang tersisa, disekitarnya roboh satu persatu.
“Tangkal kadu… Bungbang… Kaduuuuu bungbang… Kaduuuuu bungbang… Kaduuuuu bungbang;”
Akhirnya sampai sekarang desa tersebut disebut dengan Desa Kadubungbang. (kadu = durian, bungbang = runtuh, tumbang (dalam bahasa Sunda), suatu wilayah jalur Pandeglang – Mandalawangi.
Kedua meriam tersebut lalu dibawa lagi menuju Banten, sampai suatu hari sampailah rombongan Tanumaja dan para punggawa tersebut ke sebuah desa yang banyak sekali orang-orang yang sedang membuat cangkul, golok dan lain sebagainya yang terbuat dari besi yang disebut dengan Pandai besi. Maka Tanumaja bicara dengan salah seorang pandai besi agar membuatkan gelang untuk meriam tersebut agar kedua meriam dapat dijinjing. Setelah pandai besi tersebut selesai memakaikan gelang ke meriam maka bertanyalah Tanumaja ke pandai besi tersebut,
“Desa ini apa namanya Ki Sanak?” tanya Tanumaja
“Kami tidak tahu nama desa ini, raden…” jawab salah seorang pandai besi tersebut.
“Pande… Geulang…” teriak Tanumaja
Maka berteriaklah para punggawa tersebut dan para pandai besi tersebut.
“Pande geulang… ? Pande geulang…? Pande geulang... PANDEGLANG…” teriak semua orang yang berada di kampung tersebut.
Sebagai tanda terimakasih dan untuk mengenang pandai besi yang membuat gelang untuk meriam maka kampungnya disebut panday gelang, yang kemudian berubah menjadi Pandeglang. Maka sampai sekarang tempat tersebut disebut dikenal dengan Kota Pandeglang.