Alfioliontina Aninda Kayisinta

Asal Mula Tombak Kyai Plered

Pada jaman dahulu kala, tersebutlah seorang  Tumenggung di wilayah Jawa Tengah yang bernama Wilatikta. Tumenggung adalah jabatan setingkat Bupati untuk jaman sekarang , Sang tumenggung mempunyai dua orang anak, yang laki-laki bernama Raden Sahid dan yang perempuan bernama Rasa Wulan. Ketika kedua orang anaknya itu telah menginjak dewasa, Tumenggung Wilatikta memanggil mereka berdua. 

Kepada Raden Sahid, Tumenggung Wilatikta berkata, “Sahid, kau sekarang sudah menginjak dewasa, Aku ini ayahmu telah tua, tenaga mulai lemah. Nanti kamu yang harus menggantikan kedudukan ayahmu menjadi Tumenggung.”

Raden Sahid duduk bersila di hadapan ayahnya sambil menundukkan kepala menandakan hormat. Dia mendengarkan kata-kata ayahnya dengan seksama.  “Oleh karena itu, aku mengharapkan agar engkau segera memiliki isteri. Pilihlah puteri mana yang kamu sukai. Nanti aku yang akan melamarkan untukmu,” kata Tumenggung Wilatikta.

Mendengar kata-kata ayahnya itu, Raden Sahid termenung. Di dalam hati dia menolak perintah ayahnya untuk segera beristri karena sebenarnya dia belum memiliki rencana untuk memilki isteri, tetapi untuk menolaknya secara terus terang, sebagai anak yang berbakti dia tidak memiliki keberanian untuk menolaknya. Dia khawatir akan membuat sedih hati orangtuanya. Raden Sahid diam saja dalam kebimbangan untuk beberapa saat lamanya. Akhirnya Raden Sahid memberanikan diri berkata pada Ayahnya.

“Ampun Ayahanda,” kata Raden Sahid dengan hormatnya. “Sama sekali saya tidak bermaksud menolak perintah ayahanda.” “Soal istri, hamba belum dapat melaksanakannya dengan segera. Sampai saat ini hamba masih  menimbang-nimbang, gadis  yang cocok untuk menjadi menantu ayahanda.”

“Baiklah kalau begitu,” kata Tumenggung Wilatikta. “Pertimbangkanlah baik-baik. Dan berhati-hatilah kamu  dalam memilih calon isterimu.”

Sesudah itu,  Raden Sahid lalu diperkenankan mundur dari hadapan Sang Tumenggung. Selanjutnya, Tumenggung Wilatikta juga menyuruh kepada anak perempuannya, yaitu Rasa Wulan, agar segera mempersiapkan diri untuk menerima lamaran orang lain. Rasa Wulan tanpa membantah menyanggupi perintah ayahnya, lalu minta diri mundur dari hadapan ayahnya.

Malam harinya, Raden Sahid merasa sangat gelisah. Sampai larut malam dia tak dapat memejamkan mata. Hatinya merasa sedih mengingat perintah ayahnya untuk segera beristeri, sedangkan dia sama sekali belum punya niat untuk itu. Dia mencari akal agar terhindar dari paksaan ayahnya, terbersit dalam pikirannya untuk melarikan diri dari istana. Setelah membulatkan tekad, maka pada waktu larut malam, ketika seisi rumah masih lelap dibuai mimpi, Raden Sahid keluar dari dalam kamarnya dengan diam-diam, lalu pergi.

Pagi harinya, Rasa Wulan terkejut mengetahui bahwa kakaknya tidak ada di dalam kamarnya. Dia khawatir kalau terjadi sesuatu pada kakaknya. Dengan harap-harap cemas Rasa Wulan mencari kakaknya kemana-mana. Setelah mencari ke berbagai tempat tidak berhasil , maka yakinlah Rasa Wulan, bahwa kakaknya telah meninggalkan rumah. Dia sudah hafal dengan sifat kakaknya yang keras dalam pendirian tidak mau dipaksa-paksa. Rasa Wulan akhirnya ingin mengikuti ide kakaknya, kemudian Rasa Wulan masuk ke kamar untuk menyiapkan bekal dan pakaian. Setelah itu ia pun pergi menyusul kakaknya.

Malam harinya orang-orang seisi rumah terkejut dan panik mengetahui bahwa Raden Sahid dan Rasa Wulan pergi tanpa sepengetahuan orang tuanya. Tumenggung Wilatikta sangat terkejut mendengar laporan bahwa kedua anaknya pergi, segera ia memerintahkan bawahannya untuk menelusuri ke berbagai tempat, namun mereka tidak berhasil menemukan Raden Sahid dan Rasa Wulan. Hari-hari berganti tidak terasa sudah bertahun-tahun, kedua anak Tumenggung Wilatikta itu tidak dapat ditemukan.

Selama bertahun-tahun Raden Sahid meninggalkan rumah, ia mengembara ke berbagai tempat yang jauh, mengalami pahit dan getirnya penderitaan, serta menghadapi berbagai macam cobaan, sehingga di kemudian hari ia dikenal sebagai seorang wali yang sangat terkenal dengan kebijaksanaan dan kesaktiannya. Dia dikenal sebagai Kanjeng Sunan Kalijaga.

Demikian juga dengan Rasa Wulan, di dalam pengembaraannya mencari kakaknya , setelah bertahun-tahun dia tidak berhasil menemukan kakaknya  akhirnya dia memutuskan bersembunyi dan bertapa di hutan angker Glagahwangi. Di hutan itu Rasa Wulan Bertapa Ngidang yaitu bertapa hanya memakan daun-daunan.

Di dalam hutan yang lebat itu terdapat  sebuah danau yang dikenal Sendhang Beji. Tepat di tepi danau itu tumbuhlah sebatang pohon yang sangat besar dan rindang. Batang pohon itu condong kearah danau dan daunnya yang lebat menaungi permukaan danau. Pada salah satu cabang yang menjorok ke atas permukaan Sendhang Beji itu, ada seorang yang sedang bertapa dengan menggelantung kepala di bawah yang dikenal dengan Bertapa Ngalong (seperti kelelawar yang sedang tidur di pohon). Orang itu bernama Syekh Maulana Mahgribi. 

Pada suatu siang yang cerah, datanglah Rasa Wulan ke Sendhang Beji itu untuk mandi. Karena matahari memancarkan sinarnya yang sangat terik, perlahan-lahan Rasa Wulan menghampiri Sendhang Beji yang airnya jernih dan segar. Dengan tenangnya dia mandi di Sendhang Beji itu. Kesejukan air danau itu membuat kesegaran yang terasa sangat nyaman pada tubuhnya. Sementara itu, Syekh Maulana Mahgribi sedang bertapa tepat di atas air danau tempat Rasa Wulan mandi. 

Beberapa hari kemudian terjadilah suatu keanehan pada diri Rasa Wulan, Rasa Wulan terkejut karena perutnya terus membesar, ternyata dia telah hamil.  Rasa Wulan terkejut karena selama ini dia tidak pernah sekalipun berhubungan dengan seorang laki-laki, akhirnya ia mencari-cari di hutan sekitar danau, mungkin ada orang lain yang tinggal disitu. Akhirnya dia menemukan ada orang yang menggelantung diatas pohon, ia  menduga bahwa orang laki-laki yang bergantungan pada cabang pohon di atas danau itulah yang menyebabkan kehamilannya. Rasa Wulan pun berteriak menyuruh orang itu turun dari pohon, Rasa Wulan bersikukuh bahwa orang itu yang telah menghamili dirinya. Syeh Maulana Maghribi tetap menolak tuduhan itu karena ia memang tidak berbuat seperti yang dituduhkan. Akhirnya sebagai jaminan kepada Rasa Wulan, Syekh Maulana Maghribi memberikan pusaka sakti yang dimilikinya yaitu sebuah tombak pusaka yang kelak dikenal dengan Tombak Kyai Plered. 

Setelah anak yang dikandung oleh Rasa Wulan itu lahir, lalu anak itu diserahkan kepada Syekh Maulana Mahgribi dan diberi nama Kidangtelangkas. Keturunan Kidangtelangkas itu kelak secara turun-temurun menjadi raja di tanah Jawa. Tombak Syekh Maulana Mahgribi itu, akhirnya menjadi pusaka bagi raja-raja di Jawa. Tombak itu dinamakan Kanjeng Kyai Plered.

Secara turun-temurun tombak Kanjeng Kyai Plered itu diwariskan kepada raja-raja yang bertahta. Pada waktu Dhanang Sutawijaya berperang tanding melawan Arya Penangsang, Dhanang Sutawijaya dipersenjatai tombak Kyai Plered, dan dengan senjata andalan itu pula Sutawijaya berhasil membunuh Arya Penangsang. Selanjutnya Dhanang Sutawijaya menjadi Raja Mataram, dan Kanjeng Kyai Plered merupakan senjata pusaka kerajaan Mataram. Saat ini tombak Kanjeng Kyai Plered itu menjadi senjata pusaka di Keraton Yogyakarta.


PENULIS

Alfioliontina Aninda Kayisinta

ASAL CERITA

Yogyakarta

BAHASA

Bahasa Indonesia

KATEGORI

Cerita Rakyat

LABEL

YogyakartaPleredTombak Kyai Plered
Favorit

SEMUA TANGGAPAN

v: 2.2.1