Kebonagung merupakan salah satu kelurahan di pusat kota Pasuruan Jawa Timur, daerah ini memiliki minuman khas yang begitu terkenal yaitu Jamu Kebonagung yang terbuat dari rempah-rempah pilihan yang diturunkan secara turun menurun oleh orang-orang terdahulu. Letak strategis Pasuruan membuat kawasan ini dulunya terkenal sebagai pelabuhan transit serta pasar dagang antar pulau bahkan antar negara. Salah satu jenis komoditas yang mereka bawa adalah perdagangan rempah-rempah. Oleh masyarakat pada zaman Untung Suropati, rempah-rempah ini dimanfaatkan untuk dibuat minuman khas yaitu Jamu Kebonagung. Namun sejarah munculnya jamu kebonagung ini memiliki cerita tersendiri yang menarik di kalangan masyarakat zaman dahulu.
Alkisah di suatu tempat di Pasuruan hiduplah seorang janda tua bernama Wironini dengan ketiga anaknya. Suaminya Wirogunan telah meninggal ketika anak ketiganya baru saja lahir. Dengan keadaan seperti itulah maka dia harus berjuang menghidupi diri dan ketiga anaknya. Kondisinya memaksanya untuk bekerja sebagai tukang masak di rumah saudagar kaya bernama Sutojayan. Sutojayan adalah seorang pedagang rempah-rempah yang sangat kaya namun sayangnya memiliki perangai yang sangat kejam terlebih dalam memperlakukan anak buahnya termasuk Wironini.
Suatu hari Sutojayan mendapat kabar dari teman lamanya yang ingin berkunjung ke rumahnya. Lalu dia menyuruh anak buahnya untuk menyiapkan makanan dan segala sesuatunya untuk kawan lamanya tersebut. Para pelayan di rumahnya hanya diberikan waktu dua hari untuk menyiapkan segala sesuatunya. Begitu juga Wironini pun mendapatkan tugas menyiapkan makanan untuk tamu tersebut. Pada waktu bersamaan Wironini mendapati anaknya yang bungsu sakit. Dengan terpaksa dia meminta izin untuk tidak bekerja sampai anaknya sembuh, namun Sutojayan marah dan tidak mengizinkannya. Dengan diselimuti rasa sedih yang begitu mendalam melihat kondisi si bungsu yang sakit parah dia tegakan untuk berangkat bekerja di rumah saudagar kejam tersebut.
Di tengah perjalanan menuju tempat Wironini bekerja didapatinya seorang nenek tua yang meminta-minta karena kelaparan. Di kantongnya Wironini hanya membawa sepotong ketela rebus yang dibawanya dari rumah. Tak tega melihat nenek tua tersebut maka bekal itu diberikannya. Sang nenek sangat berterima kasih kemudian sebagai imbalannya nenek tersebut memberikan seteguk air putih yang diletakkan dalam kendi yang dia ambil dari sebuah belik atau sumber air di tengah hutan. Nenek tua itu berpesan agar Wironini menyimpan baik-baik air tersebut serta digunakan hanya setetes saja setiap kali digunakan. Beliau berpesan kelak suatu saat ketika air kendi sudah habis maka dia tidak perlu mengisinya lagi karena kendi itu akan selalu terisi penuh sesaat habis digunakan. Tatkala air ditambahkan dalam kendi tersebut maka akan terjadi petaka besar bagi yang menambahkannya. Ia juga berpesan bahwa kelak dalam kendi tersebut akan menjadi perantara Tuhan untuk menolong hidupnya serta anak-anaknya ketika dia bisa memanfaatkannya dalam kebaikan.
Merasa tidak percaya dengan perkataan sang nenek maka Wironini tak sabar ingin segera sampai di rumah ingin membuktikan pesan nenek tersebut. Setelah pekerjaannya selesai ia bergegas pulang. Sesampai di rumah ia memberikan setetes air tersebut kepada anaknya yang sedang sakit.
Hal yang sama ia lakukan tiap harinya. Tak lama kemudian anaknya berangsur-angsur sembuh. Namun ia tak serta merta percaya apa yang dikatakan nenek tersebut. Maka kemudian dia mengamati isi air dalam kendi tersebut. Setelah beberapa waktu setelah air berkali-kali digunakan ternyata isinya masih utuh dan tidak berkurang sama sekali. Dua kejadian itu ternyata belum membuatnya percaya begitu saja. Lalu dia ingin membuktikan perkataan nenek untuk terakhir kalinya. Dia mencoba membuat minuman hasil idenya dengan ketiga anaknya. Dia mencoba meramu resep yang berbahan dasar rempah-rempah dari sisa-sisa dagang Sutojayan yang tidak laku dijual. Dia mencampurkan setetes air kendi tersebut dalam minuman racikannya. Saat perayaaan kampungnya, dia menjajakan hasil minuman racikannya. Betapa terkejutnya ternyata minuman buatannya habis terjual. Lalu dia memutuskan untuk membuka lapak kecil-kecilan di rumahnya, itupun membuahkan hasil yang memuaskan hingga dagangannya laris manis terjual setiap harinya.
Mendengar kesuksesan Wironini, Sutojayan merasa iri dan pikiran serakahnya menyuruhnya mencari rahasia di balik resep minuman yang sukses di pasaran tersebut. Sutojayan berpura-pura baik terhadap anak-anak Wironini. Lalu dirayunya si bungsu untuk menceritakan rahasia di balik minuman tersebut. Melihat bujuk rayu Sutojayan akhirnya sang bungsu menceritakan rahasia di balik resep minuman tersebut. Sutojayan memerintahkan anak buahnya untuk mengambil air dalam kendi tersebut tanpa sepengetahuan Wironini.
Sutojayan yang licik akhirnya meramu resep yang sama dengan resep yang dibuat Wironini dengan menambahkan setetes air kendi yang dicurinya. Sesuai harapannya maka minuman itu laku keras di pasaran. Namun karena keserakahannya dia menambahkan air dalam kendi tersebut dengan air biasa dengan tujuan agar air itu tetap banyak dan bisa digunakan untuk membuat lebih banyak minuman. Akan tetapi ada satu rahasia yang tak diketahuinya berujung fatal untuk dirinya karena air yang ditambahkan pada kendi tersebut semakin lama semakin banyak sehingga membuat banjir seluruh rumah beserta hartanya.
Wironini sendiri mencoba membuat minuman tanpa air mujarab dari kendi yang sudah diambil paksa oleh Sutojayan. Alhasil dengan keyakinan kepada Sang Pemberi Rizki maka minuman buatannya tetap laku keras di masyarakat. Sejak saat itu Wironini percaya bahwa bukan karena ar mujarab yang membuat minumannya laku namun karena usaha dan kerja keras serta keyakinan terhadap Sang Penciptalah yang membuatnya berhasil. Konon tempat tinggal Sutojayan berubah menjadi kebon mangga yang sangat subur dan menghasilkan mangga yang bagus kualitasnya. Oleh orang Pasuruan daerah tersebut diberi nama Kebonmangga Pohjentrek. Lalu minuman yang dibuat Wironini diberi nama Jamu Kebonagung. Nama Wironini, Wirogunan serta Sutojayan pun dijadikan nama tempat di Pasuruan sampai sekarang.