Apriliani Astuti Jeni

Ceki Ata Desu: Asal Usul dan Pantangan Masyarakat Kampung Desu

Pada zaman dahulu, ada seorang pria yang bernama Sehadun. Dia hidup sebatang kara di sebuah kampung yang sangat terpencil tepatnya di atas bukit. Nama kampung tersebut adalah Desu. Sehadun tinggal sendiri setelah anak dan istrinya meninggal karena penyakit aneh.

Suatu hari, Sehadun pergi ke kebun untuk memetik buah. Kemudian, ia pergi ke hutan untuk mengambil kayu bakar serta kulit kayu sebagai bahan pembuat pakaian untuk badannya. Pakaian Sehadun sudah usang dan sobek. Ia harus segera menggantinya.

Sehadun pergi ke sebuah hutan yang bernama Pong Meleng. Saat berada di hutan itu, dia menemukan sebatang pohon yang bernama Lale. Buah dari pohon itu sangat disukai oleh kelelawar, burung-burung, serta musang. Pohon itu menyerupai pohon sukun. Kulit batang pohon tersebut berserat sehingga sangat cocok dijadikan sebagai pakaian pada zaman itu.

Di dahan pohon tersebut, ada sarang burung pipit yang tidak Sehadun sadari. Sehadun pun menebang pohon itu dengan sebuah kapak batu sehingga pohon itu pun tumbang. Sewaktu pohon itu tumbang, dua ekor burung pipit yang tinggal di pohon tersebut terbang dan hinggap di kulit batang pohon Lale yang diambil oleh Sehadun. Sehadun membawa kulit pohon tersebut ke rumahnya bersama dua ekor burung pipit tadi.

Pada esok harinya, seperti biasa, Sehadun pergi ke kebun memetik buah dan mencari kayu api di hutan. Ketika siang hari, ia pulang untuk makan siang di rumahnya. Sesampai di rumah, Sehadun sangat terkejut karena di dapurnya sudah tersedia berbagai makanan yang enak dan lezat.

“Wah! Dari mana datangnya makanan yang ini? Siapa gerangan yang menyediakan semua makanan ini?” tanyanya dalam hati.

Keesokan hari, peristiwa yang sama terjadi lagi. Saat Sehadun pulang dari kebun, ia mendapati banyak makanan sudah tersedia di atas meja. Ia semakin penasaran dan ingin mengetahui siapa yang menyediakan makanan baginya selama dua hari belakangan.

“Aku harus mencari tahu siapa yang menyiapkan semua makanan itu, Hm. Nah, aku tahu caranya!” gumam Sehadun.

Keesokan harinya, sebelum siang hari, Sehadun bergegas kembali ke rumahnya. Dia sudah membuat lubang pada dinding rumahnya untuk dapat melihat kedalam dapur. Sehadun pun mulai merapatkan wajahnya ke tembok rumahnya.

Setelah agak lama menunggu, tiba-tiba datanglah dua ekor burung pipit hinggap di atas pintu rumahnya. Burung pipit tersebut berubah menjadi dua orang gadis cantik jelita. Mereka melepaskan kedua sayapnya dan menggantungkannya di atas palang pintu rumah Sehadun. Kedua gadis tersebut lalu masuk menuju dapur Sehadun untuk menyiapkan makanan.

Sehadun terus mengamati kedua gadis tersebut. Dalam hati ia berkata,“Ternyata yang menyediakan semua makanan itu adalah kedua gadis cantik ini. Mereka pasti orang sakti karena bisa menjelma menjadi burung pipit. Mungkin kalau aku sembunyikan sepasang sayap dari salah seorang gadis tersebut, aku bisa menikahi salah satu di antara mereka.”

Didasari pemikiran tersebut, Sehadun perlahan-lahan memasuki rumahnya. Ia mengambil dan menyembunyikan sepasang sayap dari atas palang pintu rumahnya. Kemudian, dia menuju dapur untuk mendekati kedua gadis cantik tersebut.

Dua gadis cantik di dapur mendengar suara langkah datang mendekati mereka. “Sepertinya ada orang yang datang mendekati kita, Kak,” bisik gadis yang lebih belia.

“Iya, Dik. Mungkin itu Sehadun. Kita harus segera menyelesaikan masakan ini dan kembali bersembunyi,” balas sang kakak.

Mereka memasak makanan dengan terburu-buru. Namun, sebelum mereka menyelesaikan masakannya, Sehadun sudah ada tepat di belakang mereka. Dua orang gadis cantik itu terkejut dan berniat melarikan diri. Sang adik berhasil meloloskan diri sedangkan sang kakak tidak dapat melarikan diri karena tidak dapat menemukan sayapnya yang telah disembunyikan oleh Sehadun.

Sehadun dengan lemah lembut menjelaskan maksudnya kepada yang gadis. Gadis itu pun bercerita bahwa ia bernama Menjing. Ia berasal dari Pulau Sumba. Menjing dan adiknya memiliki kekuatan sakti. Mereka terbang ke Pong Meleng dari Sumba untuk mencari pasokan makanan. Mereka berubah wujud menjadi burung pipit agar lebih mudah menyeberangi laut Sawu yang begitu luas. Menjing kemudian dijadikan istri oleh Sehadun. Keduanya hidup bahagia bersama.

Sebulan setelah mereka hidup bersama, keluarga Menjing datang menjumpai mereka. Orangtua Menjing berkata kepada Sehadun, “Aku akan merestui kamu menjadi suami putriku, asalkan kamu menyiapkan satu linko (kurang lebih 6 hektar) tanah yang ditanami padi di atas bukit Desu dan satu linko lagi untuk ditanami gandum. Kedua linko tersebut harus dapat terlihat jelas dari Pulau Sumba, dari kampung kami berada.”

Sehadun menyanggupi permintaan mertuanya dan segera menyiapkan dua linko ladang. Linko pertama bernama Wake Lau dan satu lagi bernama Wake Le.  Letaknya berada di atas bukit yang sangat tinggi, sehingga terlihat sangat jelas dari Pulau Sumba.

Tiga bulan kemudian, padi di kedua linko tersebut mulai menguning dan tampak sangat jelas dari Pulau Sumba. Keluarga Menjing yang sakti mandraguna berubah menjadi burung pipit. Ratusan burung pipit terbang ke Kampung Desu untuk memanen padi dan gandum yang sudah dipersiapkan oleh Sehadun sesuai dengan perjanjian mereka.

Sehadun dan Menjing kemudian menjadi nenek moyang Kampung Desu. Keturunan mereka terus bertambah dan semakin bertambah hingga tersebar ke seluruh Manggarai. Itulah mengapa bagi masyarakat Kampung Desu, ceki (pantang) memakan burung pipit. Mereka berkeyakinan bahwa burung pipit adalah nenek moyang mereka. Apabila mereka melanggar larangan tersebut, mereka akan terkena penyakit kudis. Burung pipit juga dipercaya dapat memberikan tanda bahaya atau menyampaikan berita duka jika ada burung pipit berbunyi pada malam hari di atas atap rumah mereka.


PENULIS

Apriliani Astuti Jeni

ASAL CERITA

Manggarai, Nusa Tenggara Timur,

BAHASA

Bahasa Indonesia

KATEGORI

Cerita Rakyat

LABEL

Tidak Ada Label
Favorit

SEMUA TANGGAPAN

v: 2.2.1