Pada sekitar abad ke-18, di wilayah Cirebon, hiduplah seorang pangeran bernama Pangeran Panji Argaloka. Hatinya terasa resah disebabkan Kesultanan Kanoman mengutus dirinya untuk pergi mengembara mengajarkan agama Islam. Entah kemana ia akan pergi, namun yang pasti, ia akan pergi ke tempat-tempat yang belum terjamah oleh agama Islam.
Sang pangeran pun berdiri di depan pintu Kesultanan Kanoman. Keresahan dalam hatinya seketika hilang saat Pangeran Panji Argaloka bertemu dengan ibunya. Hatinya mulai kuat ketika ia meminta restu kepada ibunya. Sayangnya, Pangeran Panji Argaloka tidak bisa meminta restu kepada ayahnya yang telah meninggal.
“Mak, Panji bade angkat (Pani akan berangkat). Panji nyungkeun doa restuna (mohon doa restunya),” pamit Pangeran Panji Argaloka. Ucapan pamit yang singkat itu membuat hatinya yakin. Dengan berurai air mata, sang ibu merestui perjalanan Pangeran Panji Argaloka demi menyebarkan agama Islam.
Dengan bekal seadanya, Pangeran Panji Argaloka pun memulai pengembaraannya seorang diri tanpa ada satu orang pun yang menemaninya. Sumedang menjadi tempat yang pertama kali ia kunjungi. Masyarakat di sana belum mengenal betul apa itu agama Islam.
Selama di Sumedang, Pangeran Panji Argaloka mengajarkan agama Islam dengan cara berceramah ke tempat-tempat yang ramai. Ia memiliki banyak pengikut. Meski telah memiliki ilmu yang dalam, Pangeran Panji Argaloka juga masih ingin banyak belajar.
Suatu hari, Pangeran Panji Argaloka mendengar bahwa ada seseorang yang memiliki banyak ilmu tetapi tidak berani untuk menyebarkannya. Orang itu bernama Hasan. Hasan terkenal akan ilmunya yang dalam dan luas, tidak hanya akan ilmu agama Islam, namun juga ilmu kesehatan dan ilmu batin. Sang pangeran tidak mengerti kenapa Hasan tidak mau mengajarkan ilmunya kepada orang lain. Pangeran Panji Argaloka yang penasaran datang menemui Hasan. “Kenapa kau tidak mau mengajarkan ilmumu kepada orang lain?” tanya Pangeran Panji Argaloka pada seorang pemuda yang ditunjukkan warga.
”Kau lihat tampangku seperti apa?” Orang itu berbalik dan memperlihatkan wajahnya yang jelek dan seram. “Mana ada orang yang mau berguru dengan orang buruk rupa sepertiku,” lanjut Hasan.
“Orang yang sungguh-sungguh mencari ilmu tidak akan peduli bagaimana rupamu,” ucap Pangeran Panji Argaloka.
Hasan langsung terdiam. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Mau apa kau kesini?”
Pangeran Panji Argaloka pun menceritakan kedatangannya. Mulai dari kenapa ia pergi ke Sumedang dan keinginannya untuk belajar lebih banyak ilmu agar dapat melaksanakan tugas dari Kanoman. Pangeran Panji Argaloka pun berhasil menjadi murid Hasan.
Sudah lama Pangeran Panji Argaloka berguru. Ia siap pergi ke daerah selanjutnya untuk menyebarkan ajaran Islam. Daerah berikutnya yang didatangi Pangeran Panji Argaloka adalah Cinangka dan Cikancung. Saat itu, Pangeran Panji Argaloka tidak sendirian lagi dalam mengajarkan ilmunya. Ia ditemani oleh para pengikutnya yang berasal dari Sumedang.
Pada suatu hari, saat Pangeran Panji Argaloka dan para pengikutnya mengajarkan agama Islam, Pangeran Panji Argaloka bertemu dengan seorang gadis yang berasal dari Desa Cihanyir. Keduanya jatuh cinta dan memutuskan menikah.
Kedatangan Pangeran Panji Argaloka di Cinangka disukai oleh masyarakat. Ia dikenal berilmu tinggi dan mampu menyembuhkan orang dari penyakit lahir maupun batin. Pangeran Panji Argaloka berdakwah secara diam-diam karena pada saat itu penjajahan Belanda mencoba menangkap semua alim ulama. Agar perbuatannya tidak diketahui, Pangeran Panji Argaloka menyamar menjadi seorang tabib. Akan tetapi, berita tentang dirinya tersebar dan diketahui oleh penjajah Belanda.
Pihak Belanda yang tidak senang dengan kehadirannya, memutuskan untuk menangkap Pangeran Panji Argaloka Ia tertangkap dan diborgol oleh Belanda saat sedang menyampaikan ilmu.
Pada perjalanan menuju markas, tiba-tiba Pangeran Panji Argaloka menghilang seketika entah kemana. Tentara Belanda itu pun mencari jejaknya tetapi tidak bisa ditemukan. Prajurit Belanda kebingungan. Pangeran Panji Argaloka diborgol dengan sangat kuat dan hanya bisa dibuka oleh kunci yang ada di tangan Komandan Belanda. Ketakutan menghampiri prajurit Belanda dan mereka pun pulang ke markas tanpa membawa Pangeran Panji Argaloka.
Masyarakat juga merasa bingung akan berita hilangnya Pangeran Panji Argaloka. Namun, dengan kuasa Allah, pada saat namanya disebut, Pangeran Panji Argaloka pun muncul kembali dalam sekejap mata. Pangeran Panji Argaloka muncul dalam keadaan masih terbelenggu dan memakai pakaian yang sama. Warga yang berada di sana pun langsung bertanya, “Pangeran tadi ke mana?”
Pangeran Panji Argaloka menjawab, “Jangan khawatir. Sampai kiamat, saya pasti ada di tempat ini. Saya berpesan kalau ada di antara kalian yang punya masalah hidup, berziarahlah ke makam saya. Kalau kalian khawatir saya dibelenggu dengan borgol ini, maka akan saya udar (menyelesaikan) dengan ilmu saya.”
Pangeran Panji Argaloka pun kembali menghilang. Semenjak kejadian itu, banyak warga yang mengaku bermimpi telah bertemu dengan Pangeran Panji Argaloka. Di dalam mimpi, Pangeran Panji Argaloka selalu berpesan untuk menjaga ibadah.
Kata udar berarti menyelesaikan dan tilem berarti menghilang seketika. Sejak kejadian itu, muncullah panggilan baru untuk Pangeran Panji Argaloka yaitu Embah Dalem Pangudar.
Makam Embah Dalem Pangudar, terletak di Desa Cikancung, Kecamatan Cikancung, Kabupaten Bandung. Sampai saat ini makam tersebut diyakini sebagai makam situs yang sering dikunjungi masyarakat untuk melakukan ziarah. Cerita di atas berkembang dari mulut ke mulut masyarakat Cikancung dan sekitarnya.