Nurhidayati

Gunung Keramaian

Di suatu kampung pedalaman Kalimantan Selatan, tepatnya di Kampung Ujung Batu, hiduplah sepasang suami istri. Sang suami bernama Bapak Imis dan istrinya bernama Ibu Atul. Mereka memiliki seorang anak perempuan yang bernama Maian.

Setiap hari, Pak Imis dan Ibu Atul bekerja di sawah tak jauh dari rumah. Mereka bekerja keras tak kenal lelah. Panas dan hujan tidak mereka hiraukan demi sesuap nasi dan menghidupi anak semata wayang mereka si Maian.

Saat ini Maian telah berusia 15 tahun. Cukup dewasa untuk membantu Ibu dan Ayahnya. Namun, sayangnya, Maian adalah anak yang pemalas dan pembangkang. Ia tidak pernah mau membantu orang tuanya. Ia lebih senang menghabiskan waktu untuk bermain atau bermalas-malasan di rumah.

Suatu sore, saat akan pulang setelah seharian lelah bekerja di sawah, Pak Imis dan Ibu Atul melewati jalan setapak di pinggir hutan. Tiba-tiba, langkah Ibu Atul terhenti. Ia melihat seekor kera tergeletak tak berdaya di dekat semak semak. Bu Atul pun segera memberitahu suaminya. Karena merasa kasihan, mereka memutuskan membawa kera itu pulang ke rumah untuk diobati.

Sesampainya di rumah, Bu Atul segera memanggil anaknya, Maian. Ia meminta tolong agar Maian mencari daun jepang untuk mengobati luka kera tersebut. Namun, dengan kasar, Maian menolak dengan alasan ia lelah bermain seharian.

Dengan sabar Bu Atul menghadapi perlakuan anaknya. Akhirnya, Pak Imislah yang pergi mencari daun jepang menggantikan Maian.

Pak Imis segera mencari  daun jepang di hutan kecil di dekat rumah. Tumbuhan jepang ini adalah tumbuhan liar yang daunnya dipercaya masyarakat secara turun temurun dapat mengobati luka. Diambilnya beberapa helai daun tanaman jepang. Setelah dirasa cukup, ia langsung kembali ke rumah. Bu Atul menumbuk daun jepang itu sampai halus dan membalurkannya  ke  bagian tubuh kera yang terluka.

Tiga hari kemudian, keadaan kera itu sudah membaik. Bu Atul dan Pak Imis berniat mengembalikan kera itu ke habitat aslinya, di hutan dekat sawah mereka. Namun, kera itu selalu kembali ke rumah. Akhirnya, mereka memutuskan untuk memelihara kera tersebut.

Melihat kedua orangtuanya sangat menyayangi kera itu, Maian menjadi sangat marah. Timbulah rasa iri di hati Maian. Ia merasa kera itu tidak pantas mendapat perlakuan istimewa dari kedua orangtuanya.

Pagi buta,  Bu Atul dan Pak Imis sudah bangun. Bu Atul sudah berada di dapur memasak untuk sarapan sedangkan Pak Imis mempersiapkan peralatan untuk memanen padi. Karena memanen padi merupakan pekerjaan yang melelahkan dan menguras tenaga, Bu Atul dan Pak Imis berniat mengajak Maian untuk membantu mereka.

“Nak, ayo bangun! Hari sudah pagi. Hari ini Ibu dan Bapak akan memanen padi di sawah. Tolong bantu Ibu, ya.”

“Malas ah, Bu! Aku masih ngantuk. Minta bantuan saja pada anak kesayangan kalian si kera jelek itu,” ucap Maian sambil melanjutkan tidurnya.

“Kamu tidak boleh berkata seperti itu, Nak. Ibu dan Bapak sayang samu kamu. Ya sudah, tidak apa-apa kalau kamu tidak mau membantu. Kita sarapan dulu yuk, Nak,” ucap Bu Atul penuh kesabaran.

“Ibu berisik sekali. Tidak bisa melihat orang mau tidur,” sahut Maian dengan suara keras.

Bu Atul dan Pak Imis tampak sangat kecewa dan sedih mendengar jawaban Maian. Akan tetapi, mereka tetap mencoba bersabar. Akhirnya, Bu Atul dan Pak Imis memutuskan sarapan terlebih dahulu agar bisa segera berangkat ke sawah. Mereka  tidak mau berangkat kesiangan ke sawah.

Sekitar jam sembilan pagi, Maian baru bangun. Itu pun karena perutnya merasa lapar. Ia langsung menuju dapur membuka tudung saji yang ada di atas meja bambu. Mukanya cemberut dan tampak tidak senang.

“Ya ampun! Sedikit sekali sarapanku. Semua ini pasti karena kera itu. Semenjak ada dia jatah makanku berkurang,” gumam Maian.

Tak terasa matahari sudah berada di atas kepala. Pak Imis dan Bu Atul tampak sangat kelelahan. Sejak pagi mereka memanen padi dan belum istirahat. Rasa haus dan lapar sudah menghampiri mereka. Mereka beristirahat sebentar di pondok dekat sawah sebelum pulang untuk makan siang.

Ternyata, persediaan air minum mereka sudah habis. Padahal tenggorokan mereka sangat kering karena terik matahari. Bu Atul melihat pohon kelapa yang sangat tinggi dan berbuah lebat di samping pondok mereka. Bu Atul meminta suaminya memetikkan buah kelapa itu. Sepertinya, akan sangat segar apabila bisa minum air kelapa di siang bolong seperti ini, pikir Bu Atul.

Akan tetapi, Pak Imis sudah sangat kelelahan. Lelaki tua itu tak sanggup lagi memanjat pohon kelapa, apalagi pohonnya sangat tinggi.

Tiba tiba, kera Bu Atul dan Pak Imis seperti paham keinginan majikannya. Tanpa disuruh, dengan lincahnya sang kera meloncat ke atas pohon kelapa dan menjatuhkan beberapa buah kepala yang masih muda.

“Wah! Pak, kera ini pintar sekali. Tidak sia-sia kita merawatnya,” ucap Bu Atul.

Segera Pak Imis mengambil parangnya dan mengupas buah kelapa tersebut. Mereka kemudian meminum airnya serta memakan daging buahnya yang segar.

Karena masih merasa lelah, mereka pun merebahkan tubuh sebentar di pondok sambil meluruskan pinggang dan persendian yang kaku. Belaian angin dari pohon kelapa membuat mereka mengantuk. Tanpa sadar, mereka telah terlelap.

                                                                       ***

Di rumah, Maian tampak gelisah. Perutnya sudah keroncongan. Di dapur hanya ada nasi putih tanpa ada lauk apa-apa. Bu Atul dan Pak Imis juga tidak kunjung datang. Akhirnya, Maian memutuskan untuk menyusul orang tuanya ke sawah.

Sesampainya di sawah, Maian sangat kesal melihat kedua orang tuanya beserta sang kera tertidur pulas. Di dekat mereka terlihat buah kepala muda yang telah habis air dan dagingnya.

“Pak, Bu,  bangun! Enak sekali kalian tidur kekenyangan makan kelapa sedangkan aku kelaparan di rumah. Kalian memang tidak sayang denganku,”  kata Maian marah.

Pak Imis dan Bu Atul terkejut. Mereka tersintak dan baru menyadari bahwa mereka tertidur sebentar di dalam pondok.

“Kok kamu bicara seperti itu? Ibu dan Bapak sayang padamu, Maian. Tadi kera baik hati inilah yang mengambilkan buah kelapa,” jelas Bu Atul.

Maian tidak mau mendengar alasan kedua orangtuanya. Dengan kasar ia meminta ayahnya untuk memetikan kelapa untuknya. Bu Atul kembali menjelaskan kepada Maian bahwa bapaknya tidak kuat memanjat pohon kelapa setinggi itu. Kera itulah yang mengambilkan buah untuk mereka makan.

Maian kurang percaya dengan apa yang dikatakan ibunya. Sebagai pembuktiaan, ia meminta kera tersebut memetikkan buah kelapa untuknya. Namun anehnya, kera itu diam saja. Ia bahkan tidak mau bergerak sedikit pun dari tempatnya berada.

Maian semakin marah. “Hei Kera! Kamu tidak punya telinga ya? Ayo ambilkan buah kelapa itu untukku! Aku sudah sangat lapar dan haus!” seru Maian dengan kasar sambil mendorong kera tersebut hingga terjatuh.

“Astaga, Maian! Minta tolonglah dengan cara yang baik. Bagaimana kera itu mau menolong jika kamu berbuat kasar seperti itu,” ucap Pak Imis sambil melihat iba pada sang kera.

“Sudahlah, Pak. Lebih baik kita pulang saja dulu,” kata Bu Atul sambil menggendong sang kera yang masih tampak kesakitan.

Maian semakin kesal karena orang tuanya tidak peduli dengannya dan lebih memilih mengurusi si kera. Maian berjanji akan membalas semua perbuatan si kera yang telah merebut perhatian orang tuanya.

Sejak kejadian itu, kelakuan Maian semakin menjadi-jadi. Ia sering menyiksa dan menyakiti sang kera. Apalagi  saat orang tuanya tidak melihat. Namun, kera itu tetap saja bertahan tinggal di rumah Maian karena merasa mendapat kasih sayang dari Bu Atul dan Pak Imis.

Hingga suatu hari, Bu Atul dan Pak Imis tidak tahan lagi melihat perlakuan Maian pada sang kera. Mereka iba sekaligus geram saat melihat tubuh kera mereka penuh dengan luka lebam. Selain itu, mereka juga mendapat laporan dari  Acil Irus, tetangga sebelah, bahwa Maian memukul sang kera hingga ia menangis kesakitan.  Bu Atul dan Pak Imis tidak habis pikir dengan perbuatan Maian. Tidak ada orang di kampungnya yang menyukai Maian karena sangat  pemarah dan suka mengganggu. Hanya orang tuanya yang masih sayang dan peduli kepada Maian. Itu pun mereka berdua sudah sangat kewalahan.

Bu Atul dan Pak Imis ingin memberikan pelajaran pada Maian. Mereka sengaja tidak menyiapkan sarapan untuk Maian. Maian resah, ia bolak-balik di dalam rumah mencari sesuatu yang bisa dimakan.

Betapa marahnya Maian melihat si kera sedang makan dengan lahap di dekat pintu keluar dapur. Ia langsung menendang kera itu dengan keras. Maian pun berniat membunuh kera itu. Maian menyeret kera itu tanpa ampun sampai ke dekat sungai.

Pak Imis dan Bu Atul yang sedang mencari kayu bakar mendengar suara keranya berteriak-teriak seperti minta tolong. Mereka segera mendatangi sumber suara tersebut.

Namun, mereka terlambat. Maian sudah sampai ke tepi sungai dan melemparkan sang kera ke sungai yang besar, sangat dalam, serta deras.

“Astaga, Maian! Apa yang kamu lakukan?“ teriak Bu Atul.

Manian menengok ke belakang dan sangat terkejut. Ia tidak menyangka orang tuanya melihat apa yang sedang ia lakukan.

Tiba tiba, sebuah tamparan mendarat di pipi Maian. Pak Imis tidak tahan lagi melihat kelakuan anaknya. Amarahnya sudah tidak dapat dibendung lagi. Muka lelaki itu merah padam.

“Sakit, Pak. Kenapa Bapak menamparku hanya karena kera hitam jelek itu? Biasanya Bapak tidak pernah semarah ini,” ucap Maian.

“Kamu memang pantas mendapatkannya. Kamu sudah keterlaluan, Maian. Bapak menyesal mempunyai anak sepertimu,” sahut Pak Imis.

Kemarahan Maian tak kalah memuncak. Ia merasa terhina diperlakukan kasar oleh ayahnya sendiri. Terlebih perlakuan ini ia terima karena seekor kera.

“Baiklah, karena Bapak lebih menyayangi kera itu, lebih baik Bapak ikut mati saja beserta kera itu!” ucap Maian sambil mendorong bapaknya sendiri ke sungai.

Bu Atul sangat terkejut dan tidak menyangka anaknya melakukan hal tersebut. Karena hal itu, Bu Atul menjadi sangat marah dan sedih.

“Maian, apa yang sudah kamu lakukan kepada Bapakmu?” kata Bu Atul lirih. Bu Atul tak sanggup membendung air mata sambil melihat aliran sungai yang sangat deras sudah menghanyutkan sang suami dan sang kera.

“Mereka memang pantas mendapatkan itu, Bu,” sahut Maian tanpa rasa bersalah sedikit pun.

Kemarahan Bu Atul tak dapat dibendung lagi. Rasa sakit hatinya sudah menggunung. Akhirnya, keluarlah kata-kata kutukan dari mulut Bu Atul.

“Ibu sudah tidak sanggup lagi, Maian. Kamu memang anak durhaka! Lebih baik kamu menjadi gunung yang semakin hari semakin membesar seperti rasa sakit hati Ibu!” ucap Bu Atul sangat marah.

Seketika langit menjadi mendung. Awan hitam menyelimuti seluruh permukaan bumi. Petir menyambar dan membuat seluruh tubuh Maian menjadi lemah. Ia terjatuh dan  bersujud di bawah kaki Ibunya.

“Bu, tolong! Tolong Maian, Bu!” teriak Maian memohon kepada Ibunya.

“Terlambat, Nak. Ibu tidak dapat berbuat apa-apa lagi,” kata Bu Atul sedih.

Tetesan air mata Bu Atul mengenai tubuh Maian. Seketika tubuh Maian berubah menjadi gundukan gunung kecil yang semakin lama semakin membesar.

Astagfirullahaladzim! Maafkan Ibu, Nak. Ibu tidak bisa mengembalikanmu ke wujud semula. Nasi sudah menjadi bubur. Semua yang ucapkan tidak dapat ditarik lagi, sama halnya dengan semua yang telah kamu lakukan tidak akan bisa diperbaiki.

“Semoga kamu bisa lebih bermanfaat dengan wujudmu yang sekarang,” kata Bu Atul sambil pergi meninggalkan gunung itu.

Sampai saat ini, orang orang menyebut gunung tersebut dengan nama Gunung Keramaian. Nama tersbeut menggabungkan antara Kera dan Maian. Sekarang, Gunung Keramaian benar-benar bermanfaat. Selain dijadikan sebagai salah satu objek wisata yang terletak di Desa Keramat, perbatasan antara Desa Ujung Batu dan Panggung Baru, Kecamatan Pelaihari, Gunung Keramaian juga banyak ditumbuhi pohon durian yang terkenal berbuah tebal dan manis. Bahkan durian dari Gunung Keramaian menjadi salah satu durian khas yang terkenal dari Kecamatan Pelaihari, Kabupaten Tanah Laut.


PENULIS

Nurhidayati

ASAL CERITA

BAHASA

Bahasa Indonesia

KATEGORI

Tidak Ada Kategori

LABEL

Tidak Ada Label
Favorit

SEMUA TANGGAPAN

v: 2.2.1