Tersebutlah di suatu kerajaan yang sangat besar terdapat seorang anak yang lahir dengan keadaan yang tidak normal. Kerajaan tersebut merupakan kerajaan besar yang ada di Jawa Barat yaitu Kerajaan Pajajaran.
Malam gulita dan terlihat bulan di langit saat kelahiran anak ke-40 dari Ratu Dewi Nawangsih, istri dari Prabu Siliwangi itu menjadi awal mula kisah keajaiban anak yang memiliki kesabaran dalam menghadapi ujian dan cobaan hidup.
“Terima kasih yang Maha Agung, anakku telah kau selamatkan dalam cuaca yang tidak begitu baik,” suara Dewi Nawangsih memelas sambil memeluk anaknya.
“Cepat panggilkan Raja, dan beritahukan kalau ia telah mendapatkan seorang pangeran baru,” ucap Dewi Nawangsih dengan gembira.
Seorang emban kerajaan kemudian tergopoh- gopoh memanggil Raja Siliwangi yang masih berkumpul dengan para menteri kerajaan dan mengabarkan bahwa istrinya yang bernama Dewi Nawangsih telah melahirkan seorang pangeran.
“Maaf Raja, saya diperintahkan ratu, kalau raja telah mendapatkan putera, seorang pangeran baru di kerajaan ini,” emban memberitahu raja dengan suara perlahan dan menunduk.
“Terima kasih, baik untuk sementara rapat ini ditunda dulu. Besok kita lanjutkan,” suara raja membuat semua menteri yang hadir membubarkan diri dan patih kerajaan mengucapkan selamat untuk kelahiran anak raja.
Di dalam ruangan yang remang-remang itu, raja mendekati istrinya.
“Istriku, aku merasa ada suatu getaran yang aneh malam ini, dan saat aku melihat anak kita yang masih bayi dalam keadaan yang tidak biasa, aku memutuskan untuk mengirimkan ia pergi jauh dari kerajaan ini,” suara Raja menggetar.
“Apa maksudmu, baginda? Kau akan menjauhkan aku dari puteraku? Tidakkah kau memiliki rasa kasihan pada puteramu? Ia akan pergi jauh dari ayah dan ibunya.”
“Justru karena aku menyayanginya, dan mengharapkan kebaikan untuknya, aku akan mengirimkan dia pergi dari istana ini. Suatu saat, dia akan menemukan takdirnya dan mengetahui siapa dirinya,” ucap sang raja.
“Apa yang menyebabkan raja menginginkan dia pergi dari istana ini?” suara Dewi Nawangsih mulai beradu dengan air mata.
“Istriku, tangan anak kita tidak seperti biasanya, aku perlu memberikan dia dunia yang berbeda sebelum dia kembali ke istana ini,” raja pun meninggalkan Dewi Nawangsih dan membawa bayi yang baru lahir itu keluar dari kamarnya.
Dewi Nawangsih masih belum tahu apa yang terjadi pada puteranya, ia masih dalam keadaan yang lelah setelah melahirkan. Tetapi dalam hatinya, ia yakin bahwa apa yang dilakukan raja adalah untuk kebaikan keluarga dan kerajaan.
Di luar ruangan, seorang pembantu istana diperintahkan raja untuk pergi dari istana sambil membawa anaknya itu, ia memberitahukan nama anaknya, dan raja menginginkan pembantu itu menjaga anaknya sampai tumbuh dewasa. Suatu saat anaknya itu harus kembali lagi dalam keadaan selamat. Begitulah pesan Raja. Kemudian raja memberi nama anak itu Guru Gantangan.
Malam itu juga, pembantu istana ditemani suaminya pergi meninggalkan Pajajaran dan menelusuri dinginnya malam, hutan yang rimbun dan arah yang belum pasti. Setelah jauh dari kerajaan, entah dimana pembantu itu berhenti sejenak dan tidur terlelap sampai akhirnya suaru Guru Gantangan membangunkan dua orang utusan kerajaan itu.
Ternyata, pagi sudah menyapa, dan tangisan itu sebenarnya menandakan bahwa Guru Gantangan kelaparan. Tidak lama setelah tangisan itu berhenti, seseorang mendekati Guru Gantangan dan 2 utusan itu.
“Maaf, Kisana. Kenapa kalian ada di sini? Apakah kalian tidak merasa kedinginan?”
“Kami dari daerah yang jauh, dan kami tidak tahu kemana tujuan kami, sedangkan kami dalam keadaan kelaparan. Bisakah Kisana beritahu kami ada dimana kami berada?” suara sang utusan memelas.
“Kalian ada di daerah Rancah. Kalian sepertinya orang baik-baik. Saya adalah emban di kerajaan Rancah, saya yakin Dipati Rancah, Dalem Gayam Cengkong akan menerima kalian dengan baik. Saya akan membawa kalian ke kerajaan Rancah, supaya Dipati Rancah bisa membantu kalian.” Emban Rancah kemudian mengambil roti dari sakunya dan memberikannya kepada dua orang utusan itu. Emban adalah nama istilah pada zaman dahulu yang berarti pembantu.
Perjalanan dari tempat pertemuan emban Rancah dengan utusan Pajajaran ke tempat kerajaan Rancah ternyata tidak terlalu jauh. Kerajaan Rancah yang dipimpin oleh Dalem Gayam Cengkong menerima dengan baik orang asing itu. Kemudian Dipati Rancah melihat sang bayi yang sepertinya berbeda dari anak pada umumnya. Meskipun masih bayi, anak itu terlihat memiliki mata yang tajam, keberanian, namun terlihat rendah hati. Tetapi Dipati Rancah tidak sedikitpun bertanya dan mempermasalahkan perasaannya.
Di tempat yang bernama kerajaan Rancah inilah Guru Gantangan tumbuh besar, ia bertani sebagaimana dua utusan pajajaran yang menjaganya juga melakukannya. Guru Gantangan juga belum mengetahui dirinya adalah anak dari Prabu Siliwangi, sehingga ia menganggap bahwa dua utusan yang menjaganya adalah ibu dan ayahnya. Dalem Rancah melihat ada kesungguhan pada diri Guru Gantangan dan jiwa kepemimpinan yang berbeda dari anak yang lainnya. Guru Gantangan juga belajar dengan cepat dan cerdas. Hanya saja, satu kekurangan pada diri Guru Gantangan, ialah tangannya tidak sempurna atau bengkok tidak seperti anak normal yang lainnya.
Anak-anak seumuran Guru Gantangan di Rancah tidak ada yang mempermasalahkan tangan Guru Gantangan, karena meskipun tangannya tidak sempurna, Guru Gantangan tetap diakui sebagai anak yang cerdas dan cekatan. Semua teman-teman Guru Gantangan justru sering meminta bantuan Guru Gantangan memanah ikan di sungai.
Berbeda dengan Dipati Rancah yang merasa iba dengan keadaan Guru Gantangan, dan memerintah Guru Gantangan untuk bertapa di Hulu Cirancah selama 12 bulan.
Tidak ada yang bisa menolak perintah Dipati Rancah, apalagi Guru Gantangan seorang anak yang baik dan bijak. Ia menerima perintah tersebut dengan lapang dada.
Pada saat bertapa itulah, Guru Gantangan mendapat gangguan. Ia sering didatangi tupai putih. Ketika tupai putih hendak ditangkap, tupai itu meloncat lagi. Begitu seterusnya sampai pada suatu hari, tupai putih itu dapat ditangkap dengan tangan kanan bengkoknya. Di sanalah terjadi tarik menarik antara tupai putih dan tangan Guru Gantangan sehingga tangan Guru Gantangan menjadi lurus dan normal seperti orang pada umumnya.
Ketika pertapaan sudah pada bulan ke-12, Dipati Rancah memerintahkan orang untuk menjemput Guru Gantangan kembali ke Rancah. Di Rancah, ia kembali hidup seperti biasa. Bertani kembali dan berbaur dengan masyarakat dan teman-teman lamanya. Guru Gantangan tidak tahu di suatu tempat yang lain ada ayah dan ibunya yaitu Prabu Siliwangi dan Dewi Nawangsih sedang memikirkan dirinya.
Takdir pun akhirnya mulai membawa jalannya, di Pajajaran ada pertandingan memanah dan Guru Gantangan sudah mendapat izin dari Dipati Rancah untuk mengikuti sayembara tersebut.
Pada pertandingan itu, Guru Gantangan tidak pernah menginginkan menjadi juara, ia hanya ingin mencoba menjajal kemampuannya dalam memanah, apalagi dia sudah memiliki tangan yang sempurna.
Sampai pada hari pertandingan, satu persatu peserta pemanah maju dengan percaya diri, tetapi tidak ada satupun yang berhasil sampai target, peserta pun menunduk dengan lesu. Kini giliran Guru Gantangan yang memanah.
“Sebelum saya memulai memanah, izinkan saya untuk meminta izin kepada Raja Siliwangi dan ayah ibu saya,” Ujar Guru Gantangan.
Dua orang disamping Guru Gantangan berdiri dan memberikan isyarat memberi do'a, begitu pula dengan Raja Siliwangi, ia mengangguk.
Tangan kirinya ia luruskan, panah ia tarik dengan tangan kanannya, matanya mulai membidik sasaran, fokus sampai matanya pejamkan kemudian kembali membuka matanya dan dari busurnya melesat panah menembus bidikan. Semua orang yang hadir berdiri dan memberikan tepuk tangan.
Raja Siliwangi penasaran dan bertanya, “siapa namamu, Nak?”
“Aku Guru Gantangan, Baginda”
Raja Siliwangi terbelalak, melihat tangan Guru Gantangan normal. Dua utusan itu menghampiri Raja Siliwangi dan Guru Gantangan yang sedang beradu pandang.
“Guru Gantangan, Raja Siliwangi adalah ayahmu”
Guru Gantangan tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh yang ia anggap ayah dan ibunya itu. Tetapi, baginda raja langsung memeluk Guru Gantangan.
“Anakku, kemarilah ibumu menantimu.” lirih Raja Siliwangi.
Raja Siliwangi menginginkan anaknya untuk tinggal di Pajajaran, akan tetapi Guru Gantangan ingin berkelana dan akhirnya mendapatkan tempat untuk dirinya membuat kerajaan di daerah Rajadesa, yang disebut Samida. Raja Siliwangi pun memberi gelar Guru Gantangan yaitu Prabu Sirnaraja.