Miftahudin

Kisah Sunan Tembayat Pendiri Kota Semarang

Semarang merupakan kota yang memiliki daerah pegunungan sekaligus laut. Kota Semarang tidak lepas dari tokoh pendirinya yang juga merupakan bupati pertama di Semarang. Beliau bernama Ki Ageng Pandanaran. Di beberapa kisah lain disebut juga Raden Pandanaran atau Pandanaran I. Beliau bernama asli Pangeran Mangkubumi dengan gelar Sunan Bayat atau Sunan Tembayat.

Raden Pandanaran adalah putra dari Pangeran Suryo Panembahan Sabrang Lor, Sultan kedua Kesultanan Demak.  Beliau diangkat oleh Sultan Demak Bintara dengan mendapatkan restu dari Walisongo dan menjadi tokoh yang memberi nama Semarang.

Nama Semarang  diilhami dari tempat tinggal beliau di Pragota yang sekarang adalah tempat bernama Bergota di kelurahan Randusari, Semarang Selatan. Tempat ini dulu ditumbuhi oleh pohon asam yang jarang-jarang (Bahasa jawa: asem arang), sehingga muncullah nama Semarang.

Raden Pandanaran memerintah dengan adil dan bijaksana. Beliau tidak segan-segan turut terjun ke lapangan untuk membantu warganya yang membutuhkan.  Raden Pandanaran juga aktif mengisi kegiatan pengajian untuk melakukan pembinaan kepada rakyatnya seperti memberikan ceramah serta mengembangkan pondok pesantren dan tempat-tempat ibadah. Kepemimpinan Raden Pandanaran menjadikan kehidupan masyarakat damai, makmur, dan sejahtera.

Namun, setelah beberapa waktu, terjadi perubahan yang drastis  pada diri Raden Pandanaran. Sikap melindungi dan mengayomi warga berubah menjadi kurang baik. Sifat rendah hati, santun, dan dermawan berubah menjadi congkak, sombong, dan kikir. Beliau lebih mementingkan mencari harta dunia. Tugas sebagai bupati dikesampingkan. Kegiatan-kegiatan kemanusiaan seperti membantu sesama mulai ditinggalkan.

Raden Pandanaran berubah menjadi orang yang sibuk mencari harta sebanyak-banyaknya untuk kepentingan duniawi belaka. Karena sibuk mencari harta, kegiatan ibadah mulai ditinggalkan. Kegiatan pengajian juga sudah jarang didatangi, bahkan tidak pernah. Pondok pesantren dan tempat ibadah jarang dirawat. Tentu saja hal ini menjadi kesedihan bagi seluruh warga Semarang.

Kabar ini sampai pada Sultan di Demak yang saat itu merupakan pusat pemerintahan. Sultan Demak mulai khawatir dengan perubahan perangai Raden Pandanaran. Pertemuan yang dihadiri juga para Sunan Walisongo membahas bagaimana cara memberikan nasihat dan mengajak kembali Raden Pandanaran ke jalan yang benar.

Sunan Kalijogo menyampaikan bahwa sebenarnya Raden Pandanaran adalah orang yang baik dan masih dapat diperbaiki. Sunan Kalijogo mengibaratkan Raden Pandanaran seperti berlian yang masuk ke dalam lumpur. Jika lumpurnya dibersihkan, berlian akan mengkilap kembali. Beliau yakin dengan pendekatan dan nasihat yang baik, dapat mengubah perilaku Raden Pandanaran.

Hasil musyawarah memutuskan bahwa yang diberi tugas untuk memberikan nasihat kepada Raden Pandanaran adalah Sunan Kalijogo. Sunan Kalijogo menyanggupi hasil musyawarah itu. Sunan Kalijogo kemudian berangkat menuju Semarang. Beliau menyamar sebagai penjual rumput dengan membawa cangkul dan memikul tempat rumput. Setelah sampai di Semarang, segera Sunan Kalijogo pergi menemui Raden Pandanaran untuk menawarkan rumput yang ia bawa.

“Wahai penjual rumput, ada apa gerangan kau kemari?” tanya Raden Pandanaran ketika melihat penjual rumput yang menghampirinya. Penjual rumput pun menjawab dengan sopan, “Saya menjual rumput yang sangat segar Pangeran.”

Pangeran langsung mengamati rumput yang dibawa dengan saksama. Rumput yang dibawa ternyata memang sangat segar dan hijau. “Dari mana kamu dapatkan rumput yang baik ini?” tanya Raden Pandanaran. “Ini saya peroleh dari Gunung Jabalkat,” jawab penjual rumput.

“Apa benar ini rumput dari tempat yang sangat jauh? Jangan-jangan kamu membohongi saya?”

“Tidak, Pangeran. Ini benar rumput dari Gunung Jabalkat,” jawab penjual rumput dengan hormat.

Pangeran bertanya lagi. “Berapa harga semua rumput yang kamu bawa? Saya butuh untuk memberikan makan kuda." Penjual rumput menjawab, “Rumput yang saya bawa sama harganya dengan semua harta yang Engkau punya, Pangeran.”

Mendengar jawaban itu, sang Pangeran naik pitam. Dia merasa diremehkan dan kurang dihargai. “Tidak mungkin harga rumput semahal itu. Kamu mau membohongi saya, ya?”

"Wahai, Pangeran, sesungguhnya harta yang kamu miliki belum ada apa-apanya dengan yang dimiliki Allah, Kembalilah ke jalan yang benar, Jangan mau diperbudak dengan harta." Penjual rumput itu berusaha memberikan nasihat. Dengan nasihat itu, Pangeran malah tambah marah.

“Hei,Penjual Rumput! Kamu itu siapa? Berani-beraninya memberikan nasihat kepada saya! Sana, pergi!” usir Raden Pandanaran.

Sunan Kalijogo yang menyamar sebagai penjual rumput pun tidak menyerah untuk memberikan nasihat kepada Pangeran. Keesokan harinya, penjual rumput kembali datang kepada Pangeran untuk kedua kalinya. Kali ini, penjual rumput berupaya memberi nasihat kepada Pangeran.

“Wahai, Pangeran, ingatlah bahwa kebahagiaan akhirat lebih baik dan kekal daripada kebahagiaan dunia yang sementara. Selama ini, Pangeran telah diperbudak dengan harta sehingga telah lalai dengan tugas dan kewajiban. Kembalilah ke jalan yang benar,” kata penjual rumput dengan suara yang sopan dan berwibawa.

Pangeran yang mendengar nasihat penjual rumput menjadi tersinggung dan marah. “Kamu hanya penjual rumput, Tidak boleh menasehati saya,” ucap Pangeran dengan suara lantang. "Pergi sana!” teriak Pangeran kepada penjual rumput. Pertemuan yang kedua ini belum mampu menyadarkan Pangeran atas perbuatannya yang kurang baik. Pada akhirnya penjual rumputpun pergi meninggalkan Pangeran.

Setelah penjual rumput gagal memberikan nasihat kepada Pangeran, penjual rumput mempunyai strategi baru yaitu dengan menunjukkan kesaktiannya. Pada kesempatan yang ketiga ini, penjual rumput datang menemui Pangeran. Pangeran awalnya enggan untuk menemui karena marah dengan kejadian waktu lalu. Akan tetapi, Pangeran tetap menemuinya karena merasa penasaran.

“Wahai Pangeran yang angkuh dan sombong, ketahuilah, harta yang Engkau miliki tidak ada artinya dengan harta yang aku miliki!”

Mendengar ucapan penjual rumput, Pangeran pun terkejut dan marah. “Saya tidak percaya dengan yang kau katakana. Tidak mungkin ada orang yang memiliki harta lebih banyak daripada yang aku miliki. Aku adalah orang paling kaya di sini. Pasti kamu berbohong! Coba buktikan!” tantang sang Pangeran.

“Baiklah Pangeran. Tapi berjanjilah jika kekayaanmu kalah dengan kekayaanku, kamu harus mau menjadi muridku untuk memperdalam ilmu agama,” sahut penjual rumput.

Sang Pangeran dengan senyum sinis menjawab, “Baiklah. Pasti kamu tidak akan bisa menandingi kekayaanku karena kamu hanya penjual rumput yang miskin.”

Penjual rumput mengambil cangkulnya dan memulai mencangkul pekarangan yang ada di depannya. Pangeran awalnya meremehkan dan mentertawakan apa yang dilakukan penjual rumput. “Teruslah mencangkul yang dalam. Kamu tidak mungkin bisa melebihi kekayaanku,” kata sang Pangeran dengan nada mengejek.

Akan tetapi, sang Pangeran terkejut ketika melihat  tanah yang dicangkul oleh penjual rumput menjadi bongkahan-bongkahan emas. Pangeran berkata, “Wahai penjual rumput, apa yang kamu lakukan? Apakah itu benar-benar emas?”

Penjual rumput menjawab dengan sopan, “Ya. Ini semua emas. Semua tanah yang aku cangkul akan berubah menjadi emas. Kalau begitu, apakah Pangeran mengaku kalah?”

Pangeran tidak mau kalah, dia berkata, “Kamu mencangkul di pekaranganku. Berarti, semua emas itu menjadi milikku.”Pangeran bergegas menuju ke pekarangan untuk mengambil emas itu. Akan tetapi, sungguh di luar dugaan, ketika Pangeran mendekat dan hendak mengambil emas tersebut, mendadak emas tersebut berubah kembali menjadi tanah.

Keangkuhan dan kesombongan Pangeran mulai luntur. Tubuhnya lemas dan gemetar. Sang Pangeran bertanya, “Siapakah kamu sebenarnya? Pasti kamu bukan orang sembarangan. "

Penjual rumput berkata dengan penuh wibawa, ”Wahai Pangeran, ingatlah bahwa yang saya lakukan ini semua atas izin dan kehendak Allah semata. Allah dapat memberikan kekayaan dengan mudah dan menghilangkannya kembali  dengan mudah, Maka kita sebagai manusia hendaknya senantiasa bersyukur kepada Allah dengan cara selalu berbuat baik kepada sesama manusia dan beribadah dengan tekun.”

Kali ini Pangeran hanya tertunduk dan menyadari bahwa nasihat penjual rumput itu memang benar. Apa yang dikatakan penjual rumput benar-benar telah menyadarkan dirinya yang telah terbuai dengan harta. Pangeran kemudian mendesak bertanya, “Sebenarnya, siapa kamu?“ Pangeran memohon kepada penjual rumput untuk menunjukkan identitas sebenarnya.

Penjual rumput yang dari tadi memakai caping kemudian membuka capingnya. Setelah caping terbuka, Pangeran baru sadar bahwa ternyata penjual rumput itu adalah Sunan Kalijogo.

Pangeran langsung menangis dan bersujud di kaki Sunan Kalijogo. Sambil bersujud Pangeran berkata, “Kanjeng Sunan, mohon maaf atas kelancangan saya. Saya sangat menyesal dan memohon maaf atas perilaku saya selama ini. Saya mau bertobat.”

Melihat perilaku Pangeran, Sunan Kalijogo berkata, “Berdirilah Pangeran, bersimpuh dan bersujudlah kepada Allah. Hanya Allahlah yang pantas untuk disembah dan dimintakan permohonan maaf. Berjanjilah mulai sekarang untuk kembali ke jalan yang benar dan tidak lalai untuk beribadah.”

Sejak saat itu, Pangeran Pandanaran menyadari kesalahan yang selama ini dilakukan. Beliau bertekad memperdalam ilmu agama dan menjadi murid Sunan Kalijogo. Beliau meninggalkan semua kekayaannya menuju ke Gunung Jabalkat bersama istri untuk belajar ilmu agama.

Dengan kesungguhan, kecerdasan, dan ketekunannya, akhirnya Pangeran Pandanaran ditugaskan untuk menyiarkan agama Islam di daerah tersebut. Beliau juga berhasil mendirikan sebuah masjid di Bukit Gala. Selain menjadi pendakwah agama Islam, Pangeran Pandanaran juga mengajarkan cara bercocok tanam dan pergaulan yang baik dengan sesama manusia. Daerah Jabalkat dan sekitarnya sekarang ini dikenal dengan nama Tembayat atau Bayat.

Sampai saat ini, makam Raden Pandanaran dapat ditemukan di atas Bukit Cakrakembang, di sebelah selatan Bukit Jabalkat, Desa Paseban, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten.  Ajaran Raden Pandanaran yang paling terkenal adalah patembayatanyakni kerukunan dan gotong royong. Beliau dijuluki sebagai Sunan Tembayat.


PENULIS

Miftahudin

ASAL CERITA

Kota Semarang, Provinsi Jawa Tengah

BAHASA

Bahasa Indonesia

KATEGORI

Cerita Rakyat

LABEL

Tidak Ada Label
Favorit
v: 2.2.1