Pada zaman dahulu kala, ada 5 kerajaan yang berkuasa di daerah Cirebon yaitu Pagusten Pangeran Suryanegara (dari Cirebon), Pagusten Mangkunegara (Adik Pangeran Suryanegara) yang bertempat tinggal di Desa Sleman, Pangeran Kartanegara, bertempat tinggal di Kampung Karangkendal, Pangeran Martanegara, bertempat tinggal di Gunungjati dan Pangeran Patmanegara, bertempat tinggal di Wanacala (Sebelah timur Cirebon).
Di antara kelima pangeran itu Pangeran Suryanegaralah yang paling berkuasa dan yang paling mempunyai kesaktian tinggi. Daerah yang dikuasainya yaitu sebelah barat Bulak, Kedungwarak Bungkak, Kesambi Jamprah, Kedung, Tanahanila (Alas Sewu), sebelah timur Kedungwungu, Kedung Tambi, Sudimampiran, Cangkingan, Kedokan Utara, dan Jempatan Petakan.
Di Jembatan Petakan inilah terdapat sungai Longgagastina. Sungai ini merupakan sarana transportasi, irigasi dan juga untuk cuci dan mandi warga setempat. Pangeran Suryanegara memiliki keinginan untuk memperbesar dan menggali sungai tersebut. Pangeran Suryanegara akhirnya mengerahkan rakyat dari seluruh daerah kekuasaanya untuk bekerja memperlebar kali Longgagastina tersebut.
Kemudian Pangeran Suryanegara mengutus Nyi Ayu Kelir dari daerah Kedokan agar bisa bekerja bersama-sama dengan utusan dari kerajaan lainnya untuk membuat sungai tersebut. Salah satu utusan dari Kedokan yang mengerahkan 41 orang yang dipimpin oleh Ki Ratim.
Utusan ini kemudian datang dan menghadap Pangeran Suryanegara dengan maksud menghadiri pembuatan kali tersebut. Tapi sayang mereka datang terlambat karena sungai yang dimaksud sudah selesai dibuat. Pangeran Suryanegara sangat marah melihat mereka terlambat datang. Semua utusan termasuk pemimpinnya Ki Ratim dimarahi oleh Pangeran Suryanegara dan menyebutnya sebagai pemalas, dan tidak mau mentaati perintah raja.
Kemudian dia pun mengatakan “untuk apa kalian datang ke sini kalau Sungai Longgastina sudah selesai dibuat?” demikian ungkap Pangeran Suryanegara. Dia berbicara seperti itu karena kecewa dan marah dengan keempat puluh satu utusan tersebut. Titah Pangeran harus dipatuhi tidak hanya oleh rakyatnya tetapi juga oleh bawahannya di lingkungan kerajaan.
Hingga akhirnya dia secara tidak sadar mengeluarkan kata-kata yang berisi umpatan dan kutukan. “Kamu semua mulai saat ini bukan manusia lagi, tetapi semuanya adalah Kunyuk (monyet) dan sebagai tempat tinggalmu saya beri nama Kibuyut Banjar. Mulai saat ini kamu menempati tempat ini, dan di sini lah kamu tinggal untuk selama-lamanya secara turun temurun. Kamu hanya dapat makan dari orang yang mempunyai khaul atau dari orang-orang yang lalu lalang di jalan itu, dan kamu wajib memintanya” demikian kata Pagusten Pangeran Suryanegara.
Setelah Pangeran Suryanegara mengucap kata-kata kutukan tersebut, maka keempat puluh satu utusan tersebut berubah wujud menjadi monyet. Seketika itu pula gerak-gerik dan kelakuan utusan dari Kedokan pun berubah layaknya monyet sungguhan.
Begitulah riwayat manusia menjadi monyet, yang sampai sekarang monyet-monyet tersebut akan tetap berjumlah 41 ekor yang dipimpin oleh seekor monyet yang bertindak sebagai ketuanya yakni Ki Ratim dari Kedokan.
Menurut cerita masyarakat yang ada di sekitar Bulak, jika ada monyet yang meninggal maka salah satu keturunannya akan tinggal dengan monyet-monyet yang ada di Kibuyut Banjar dan jumlahnya akan tetap 41 ekor.
Maka tidak heran kebiasaan orang Indramayu terutama dari kampung, pada setiap lebaran tiba biasanya banyak pengunjung yang datang ke Kibuyut Banjar sambil membawa nasi dan makanan lainnya dengan maksud memberi makan terhadap monyet-monyet yang ada di Kibuyut Banjar. Mereka percaya bahwa mereka sebenarnya adalah penjelmaan manusia.
Itulah cerita rakyat dari daerah Indramayu tepatnya cerita tentang Kibuyut Banjar yang ada di Desa Bulak Kecamatan Jatibarang Kabupaten Indramayu yang hingga saat ini, cerita rakyat ini masih tetap lestari.