Firdaus Adiannur

Amat Rhang Manyang

Di sebuah kampung di pesisir pantai Aceh hiduplah seorang pemuda bernama Amat Rhang Manyang. Amat Rhang Manyang adalah seorang anak yatim yang hidup berdua dengan ibunya di desa dekat dengan pinggiran pantai. Ibunya sudah tua dan sakit-sakitan. Meski begitu Amat tak pernah mengeluh, ia selalu saja bekerja dengan giatnya dan merawat ibunya dengan sepenuh hati. 

Sehari-hari ia bekerja sebagai kuli angkut di pelabuhan dekat kampungnya. Amat adalah pemuda yang rajin, ia kerap kali disanjung oleh orang sekitarnya karena membantu pelaut dengan sangat gigih. Sehingga banyak pelaut dan nahkoda yang mengandalkan bantuan dari Amat Rhang Manyang.

Pada suatu sore ketika burung-burung camar terbang mengintari tebing-tebing yang menjulang tinggi dan matahari hendak pulang ke peraduan samudra, Amat Rhang Manyang sedang termenung di pinggir pantai. Ia hanya duduk di atas putihnya pasir pantai, kakinya dibiarkan basah oleh ombak. Matanya kosong, pikirannya melayang entah ke laut bagian mana. 

Angin sesekali membelai lembut rambutnya yang ikal dan kering terbakar matahari. Ia sadar bahwa ibunya semakin hari semakin menua, sedang ia belum bisa memberikan kebahagiaan apapun pada ibunya.

Ketika azan magrib berkumandang, Amat bangkit dari duduknya. Bergegas pulang dan menemukan ibunya sedang menyiapkan makan malam untuknya. “Sudah pulang nak?” ucap Ibu Amat dengan lembutnya. 

“Iya Ibu, sudah magrib Amat shalat dulu bu” Amat berlalu, meninggalkan Ibu di meja makan.

Seusai shalat, Amat termenung, diam, hampa. Pikirannya kosong bak kertas putih yang belum ditulisi huruf-huruf. Amat hanya termenung dan mengangkat kedua tangannya lalu berdoa pada Yang Maha Kuasa. 

“Ya Tuhan, sungguh hamba sangat menyayangi Ibu sedikitpun tidak ada keinginan dalam hati hamba untuk membuat ibu sedih dan hidup dalam kesengsaraan, maka Ya Tuhan hamba mohon petunjukMu, Aamin” ucap Amat. 

Ia melipat sejadah tua peninggalan bapaknya, lalu ke dapur tempat ibu menantinya dengan sepiring nasi panas dan beberapa ikan teri kering sebagai lauknya.

“Amat, mari makan nak” tutur lembut Ibu. 

“Ibu tidak makan? Kenapa hanya satu piring saja nasinya?” tanya Amat. 

“Ibu sudah makan nak, Amat makanlah dulu seharian ini pasti Amat capek membantu di Pelabuhan” ungkap Ibu. 

Amat tahu bahwa Ibu belum makan sedikitpun, lantas ia mengajak Ibunya makan bersama. 

“Bu, nasinya banyak sekali, Amat tidak mungkin menghabiskannya sendiri, mari Bu kita makan bersama” ucap Amat lalu makan bersama dengan ibunya. 

Sesekali diantara keduanya terlempar canda dan tawa dengan Amat yang bercerita tentang kesehariannya.

***

Hari-hari berlalu, Amat kini telah menginjak usia 17 tahun. Ia telah tumbuh menjadi seorang pemuda yang sangat tangguh dan penyayang. Ia makin dikenal oleh banyak orang di Pelabuhan yang membuatnya selalu dicari oleh para pelaut dan nahkoda. 

Amat dikenal sebagai pemuda yang jujur dan ringan tangan. Ia selalu siap sedia membantu siapapun tanpa memikirkan bayaran. Pagi ini Amat hendak berangkat dari rumahnya menuju pelabuhan. Ia keluar dari pintu dan melihat ibunya sedang menyapu halaman rumah. 

“Bu, Amat pergi dulu ya” ucap Amat. 

“Amat, kemari sebentar nak” panggil ibu. 

Amat pun menghampiri ibunya lalu berkata “Ada apa bu?”. 

“Amat, anakku, kini engkau sudah tumbuh besar, ibu sangat senang melihat dirimu tumbuh menjadi pemuda yang baik hati, hari ini pulanglah lebih cepat ya nak ibu akan masakkkan makanan kesukaanmu” ucap ibu sambil memegang tangan Amat.

Mendengar hal itu Amat menjadi semakin bersemangat untuk bekerja, ia tersenyum lebar lalu dipeluknya Ibu dengan sangat erat. 

“Terima kasih bu, Amat akan pulang lebih cepat hari ini” ungkapnya dengan beberapa butiran kecil air mata membasahi pipinya. Amat pun berangkat, meninggalkan ibunya yang kembali menyapu di halaman.

***

Setibanya di pelabuhan Amat langsung disambut oleh panggilan seorang awak kapal yang membutuhkan bantuannya. 

“Amat.. Amat.. Sebelah sini Amat” panggil seorang awak kapal. 

Mendengar panggilan itu Amat langsung bergegas berlari menemui awak kapal. 

“Ada apa pak? Apa yang bisa saya bantu?” tanya Amat pada awak kapal. 

“Tolong pindahkan semua peti-peti ini ke Gudang ya, tapi hati-hatilah peti ini milik seorang saudagar dari negeri Pinang, kau tidak mau berurusan dengannya” ungkap awak kapal. 

Amat pun memindahkan peti-peti tersebut satu persatu ke dalam gudang.

Di dalam gudang Amat sudah ditunggu oleh salah seorang anak buah saudagar yang bertugas menghitung barang bawaan. Sambil menunggu peti-peti tersebut selesai diangkut Amat, Anak buah saudagar tersebut memeriksa semua isi peti dengan sangat teliti. Peti terakhir pun selesai diangkut Amat, ia meletakkannya dengan sangat hati-hati lalu melapor pada anak buah saudagar yang sedang menghitung isi peti yang diangkutnya tadi. 

“Pak, itu sudah peti yang terakhir, bila sudah tidak ada lagi yang bisa saya bantu saya mohon pamit” ucap Amat sambil pelan-pelan berjalan keluar gudang. 

“Tunggu” panggil Anak buah saudagar yang menghampiri Amat. 

“Ini ada sedikit imbalan buatmu, terima kasih sudah membantu kami ya, esok kembalilah lagi kemari ada banyak pekerjaan yang bisa kau kerjakan di gudang ini” ucap Anak buah saudagar sembari memberikan Amat beberapa lembar uang. 

“Terima kasih banyak pak, esok saya akan kembali lagi kemari” ucap Amat.

Seusai dari gudang tersebut Amat merasa sangat senang, ia mendapat banyak uang hari ini. Dalam pikirannya ia bisa membelikan daging yang lezat dan beberapa pakaian baru untuk Ibu. Tak lama kembali ada orang yang memanggilnya lagi, panggilan bantuan dari kapal yang baru saja berlabuh. Amat kembali bekerja dengan penuh semangat karena berharap bahwa ketika pulang nanti ia bisa membuat Ibu Bahagia dengan daging dan pakaian baru yang dibawanya pulang.

Hari pun telah petang, langit yang tadinya biru cerah kini menjadi merah jingga. Laut menjadi sangat tenang dengan bias cahaya senja yang menambah syahdunya sore itu. Amat pun telah selesai bekerja, ia hendak segera pulang. Ia sudah tidak sabar pulang dan memberikan kejutan kepada ibunya. Ia berlari dengan begitu tergesa-gesa, di tangannya terdapat dua buah bungkusan hasil kerjanya hari ini. Setibanya di rumah ia langsung mengetuk pintu, membukanya, lalu mengucapkan salam. 

“Assalamualaikum bu… ibu… ibu ada dimana” panggil Amat sambil melihat ke segala penjuru rumah. 

“Waalaikumsalam.. ibu di dapur nak” ucap ibu yang langsung dihampiri Amat. 

“Bu.. ini ada sedikit hadiah untuk Ibu” ucap Amat sambil langsung membuka bungkusan yang dibawanya. 

Bungkusan pertama dibukanya dan berisikan daging sapi yang sangat lezat. 

“Amat.. dari mana kamu dapat daging yang lezat ini nak?” tanya ibu. 

Amat tidak menjawabnya, lalu ia membuka bungkusan yang kedua yang berisikan beberapa pakaian baru untuk Ibu. 

“Amat.. pakaian ini indah sekali, sungguh sebenarnya dari mana semua barang-barang ini nak?” tanya Ibu. 

“Bu.. ini semua Amat dapat dari hasil membantu seorang saudagar”.

“Banyak sekali ini nak, sungguh baik saudagar itu” ungkap Ibu. 

“Iya bu, besok Amat akan kembali ke gudang itu untuk membantunnya” kata Amat dengan semangat. 

“Terima kasih banyak nak, maaf ibu belum bisa memberimu kehidupan yang lebih layak sehingga kamu harus bekerja sampai begini” ungkap Ibu sambil sesekali sesunggukan, tangispun tak lagi sanggup dibendungnya. 

Melihat Ibu menangis Amat pun memeluk Ibunya dengan sangat erat. 

“Tak apa bu, sudah menjadi kewajiban Amat untuk berbakti dan membahagiakan Ibu” ucap Amat. 

Diantara hangatnya pelukan itu, suara perut Amat memecah kesunyian malam dan Ibu yang mendengarnya pun tertawa tiada henti. 

“Hahaha mari nak, kita makan malam dulu” ajak ibu yang diikuti oleh Amat ke meja makan.

***

Pagi hari dimulai. Suara kokokan ayam mengiringi langkah Amat ke pelabuhan. Pagi ini ia berangkat pagi-pagi sekali, ia tak mau kalah dengan ayam yang sudah berkokok. Meski masih sedikit gelap, namun di pelabuhan sudah sangat ramai. Kapal-kapal telah berlabuh sejak tengah malam. 

Para nahkoda dan awak kapal telah mengikat sauh jauh sebelum orang-orang desa bangun. Setibanya di pelabuhan Amat langsung menuju gudang tempat saudagar menyimpan barang-barangnya. Kedatangan Amat telah dinanti-nanti oleh anak buah saudagar yang menunggunya di pintu gudang. 

“Ah datang juga ternyata, sekarang tolong angkat semua peti-peti ini ke dalam dan tolong atur dengan rapi, esok saudagar akan datang untuk melihat kondisi gudang” ucap anak buah saudagar dengan lantang. 

Mendengar hal itu Amat pun mulai mengangkat satu persatu peti tersebut dengan penuh semangat.

Hari menjelang sore ketika peti terakhir telah diangkut oleh Amat. Ia telah menata gudang tersebut dengan sangat rapi, semua peti telah disusunnnya sesuai dengan perintah dari anak buah saudagar. 

“Sudah selesai?” tanya anak buah saudagar. 

“Sudah, semua peti sudah saya masukkan ke gudang dan sudah disusun juga seperti yang anda minta” jawab Amat. 

“Wah bagus sekali ini, tak pernah aku melihat gudang ini menjadi serapi ini” ungkap anak buah saudagar. 

Ia sangat terkagum-kagum dengan kegigihan Amat dalam bekerja. Lalu sejenak ia berpikir bahwa selama ini ia tidak pernah berkenalan dengan benar. 

“Hei nak, kemari sebentar” ucap anak buah saudagar yang kemudian didatangi oleh Amat. 

“Sepertinya kita sudah salah memulai ini, perkenalkan namaku Mahmud Ali biasanya para nahkoda memanggilku Cek Ali” ucap Anak buah saudagar sambil menyalami tangan Amat. 

Melihat itu Amat menjadi terkejut, ia merasa senang sekaligus sedikit gugup. 

“Nama saya Amat Rhang Manyang, orang-orang memanggil saya Amat tau bahkan Nyak Mat” ucap Amat sambil sesekali menggoyangkan tangannya. 

“Besok datanglah lebih pagi dan pakailah pakaian yang bagus, Saudagar akan berkunjung kemari besok pagi” ucap Cek Ali yang disambut anggukan serta senyuman dari Amat.

Keesokan paginya Amat berangkat lebih awal. Dia tiba di pelabuhan saat ayam pun belum berkokok dan langsung ke depan gudang. Disana ia melihat Cek Ali telah menantinya dengan pakaian yang rapi sehingga tampak sangat berwibawa. 

“Maafkan aku Cek Ali, aku terlambat” ungkap Amat. 

“Hahaha tidak apa, ini masih sangat awal sekali, kapal saudagar baru akan merapat dua jam lagi” ucap Cek Ali. 

“Anda terlihat tampan sekali hari ini, sangat berwibawa” ucap Amat. 

“Kamu ini bisa saja, rapikan rambutmu, kamu pun harus terlihat rapi dan tampan hari ini siapa tau nanti putri saudagar juga ikut mendatangi tempat ini” ungkap Cek Ali yang disambut dengan gembira oleh Amat.

Waktu berlalu, kapal saudagar telah merapat ke pelabuhan. Warga berkerumunan menyaksikan sebuah kapal yang sangat megah merapat di pelabuhan. Diantara mereka bertanya-tanya siapa kiranya pemilik kapal tersebut?. 

Dari dalam kapal turunlah Saudagar dan pengawalnya yang garang. Langsung dengan sigapnya para pengawal itu membuka jalan sedang Saudagar terus saja berjalan menuju ke gudangnya.  Di pintu gudang, Cek Ali dan Amat telah menanti kedatangan Saudagar. 

“Ali, sahabatku, apa kabarmu?” ungkap Saudagar seraya memeluk Cek Ali dengan eratnya. 

“Alhamdulillah baik tuanku” balas Cek Ali. 

“Bagaimana pelayaran anda tuanku? Sungguh saya sangat mengkhawatirkan keadaan anda” ungkap Cek Ali pada Saudagar. 

Mendengar hal itu, Saudagar tersenyum lalu berkata “Tidak ada kejadian apapun Ali, sungguh engkau adalah sahabatku yang sangat setia” balas Saudagar. 

“Mari tuanku, saya perlihatkan hasil usaha kita selama beberapa bulan ini” ajak Cek Ali pada Saudagar yang diikuti oleh Amat.

Saudagar pun masuk ke dalam gudang bersama dengan Cek Ali dan Para Pengawal sedangkan Amat mengikuti mereka dari jauh. Setibanya di dalam gudang Saudagar merasa terkesima dengan isi gudang yang sangat banyak dan tersusun dengan rapi. Tak pernah sekalipun ia melihat gudang ini menjadi begitu penuh berisi tetapi tetap bersih dan rapi. 

“Ali sahabatku, engkau sudah bekerja dengan sangat giat, sungguh aku sangat senang melihat gudang ini berisi penuh dan tertata dengan bersih dan rapi” ucap Saudagar. 

“Terima kasih tuanku, semua ini karena usaha dari semua pekerja” ucap Cek Ali. 

“Ali, sebagai rasa terima kasih ku, ambilah sedikit tanah di sebelah utara pulau ini untukmu, kau pantas mendapatkannya” ucap Saudagar sembari memegang bahu Cek Ali. 

“Tuanku, terima kasih banyak, sungguh ini merupakan hadiah yang paling bagus yang pernah kuterima dalam hidupku” ucap Cek Ali sambil berlutut di hadapan Saudagar. 

“Bangun Ali, engkau pantas mendapatkannya” ucap Saudagar seraya mengulurkan tangannya pada Cek Ali lalu keduanya naik ke kapal dan meninggalkan Amat seorang diri di gudang.

Amat merasa sangat senang karena hasil kerjanya dipuji oleh Saudagar meski bukan ia yang menerima pujian. Selama ini tiap pekerjaan yang dilakukannya tidak pernah dipuji dan selalu dibayar murah. Baru kali ini Amat merasa sangat dihargai atas hasil kerjanya. Dalam hatinya ia bertekad bahwa suatu hari nanti ia akan menjadi seperti Cek Ali, mempunyai lahan dan bisa membahagiakan ibunya. Ia kemudian melanjutkan bekerja pada tempat lain dengan hati yang penuh semangat.

***

Hari-hari telah berlalu, tahun-tahun berganti. Kini Amat telah berusia 22 tahun, ia telah 

tumbuh dewasa dan menjadi seorang pemuda yang sangat gagah. Namun dibalik semua itu Amat merasa sangat sedih dengan keadaan keluarganya yang tidak berubah sejak dulu. Amat yang dulu sangat bersemangat untuk bekerja kini telah kehilangan semangatnya. 

“Bu.. Amat pergi dulu ya” ucap Amat dengan lesu. 

“Iya nak, hati-hati ya” ucap ibu yang terbaring di Kasur. 

Hati Amat sedang gusar, pikirannya penuh seperti sebuah gelas yang terus menerus diiskan air. Ia terus berpikir caranya untuk mengobati ibunya yang sedang sakit sedang obat yang biasa ia beli tidak lagi ampuh untuk mengobati sakit ibu.

Setibanya di pelabuhan ia melihat beberapa kapal kecil beranjak pergi, menjauh, hilang dari pandangan mata. Amat sempat terpikir untuk merantau, bekerja di pulau Pinang lalu kembali setelah beberapa tahun. Namun niat itu ia urungkan, ia selalu terpikirkan Ibunya. Hari ini pun sama, pikiran itu muncul lagi di kepalanya. 

“Bagaimana kalau aku merantau saja ke pulau pinang, sekira tiga atau empat tahun aku kembali pasti aku bisa membawa banyak uang untuk Ibu” pikirnya. 

Namun segera pikiran itu ia urungkan, baginya sekarang yang paling penting adalah tetap ada disisi Ibu. Amat kemudian menemui beberapa nahkoda untuk bekerja membantu para pelaut, tapi sungguh sayang tak ada satupun yang bisa memberikan pekerjaan pada Amat. 

“Akhir-akhir ini sering sekali badai sehingga kami tidak bisa melaut, maafkan aku Amat hari ini tidak ada yang bisa engkau bantu” ucap salah satu nahkoda yang Amat temui. 

Begitupun dengan nahkoda lainnya, badai yang terjadi akhir-akhir ini telah membuat kapal-kapal hanya bisa bersandar di pelabuhan. Tak ada yang berani melaut kecuali kapal-kapal kecil. Amat terus saja mencari lagi ke tempat-tempat lain di pelabuhan sampai sore hari, namun tetap saja tidak ada yang dapat ia lakukan. Akhirnya ia pun pulang ke rumah dengan tidak membawa apapun. Setibanya di rumah ia langsung disambut Ibu yang sedang memasak di dapur. 

“Sudah pulang nak?” tanya Ibu dengan lembut. 

“Sudah bu, hari ini masih seperti kemarin tidak ada yang bisa dikerjakan” ungkap Amat. 

“Ya sudah tidak apa-apa nak, mungkin besok badainya sudah reda” ucap Ibu. 

Melihat keadaan Ibu, Amat terus saja terpikirkan untuk merantau. Ia tak tega melihat keadaan Ibunya yang terus seperti sekarang, namun ia juga tidak tega untuk meninggalkan Ibu seorang diri. Pikirannya kacau hingga ia tak sanggup menghabiskan makan malamnya. 

Melihat Amat yang sedang gusar ibu pun bertanya “Kenapa nak? Apa yang sedang engkau pikirkan?”. 

Amat menggelengkan kepalanya. Ia menolak untuk menyampaikan hal-hal yang memenuhi pikirannya. Melihat itu Ibu pun tak memaksa untuk bertanya lagi. 

“Aku shalat dulu ya Bu” Amatpun beranjak dari dapur menuju ke sumur dan masuk ke kamarnya.

***

Beberapa bulan berlalu, kini pelabuhan sudah kembali ramai. Kapal-kapal dari berbagai tempat bersandar dengan megahnya di pelabuhan. Ini adalah hari yang sibuk bagi Amat, ia kerap dipanggil oleh beberapa nakoda kapal untuk membantu menaikan dan menurunkan barang-barang dari kapal. Amat sangat menikmati pekerjaannya sampai ia lupa waktu dan baru menyadari bahwa hari sudah sore. 

Amat begitu senang sebab hari ini ia membawa banyak uang yang didapatnya dari bekerja. Ia pulang secepat mungkin , namun tiba-tiba dia mendengar beberapa orang berbincang-bincang. 

“Kawanku baru saja kembali dari pulau Pinang, dia menjadi sangat kaya sekarang padahal dia hanya setahun disana dan begitu kembali dia bisa membeli tiga ekor lembu” ucap salah satu diantara mereka. 

Mendengar hal itu Amat kembali terpikirkan untuk merantau. Namun ia singkirkan lagi pikiran itu, ia harus segera tiba di rumah sebelum magrib.Se tibanya di rumah ia langsung menemui Ibu, memberikan segala yang ia dapatkan hari ini. Ibu lalu menyajikan nasi hangat dan lauk-pauk di meja untuk disantap bersama. Amat dan Ibu sangat menikmati makan malam mereka. 

Ketika selesai, amat pun bertaanya pada Ibu “Bu.. aku mendengar kabar dari teman-teman bahwa ada seseorang yang baru pulang dari Pinang setelah setahun merantau disana dan ketika pulang dia sanggup membeli tiga ekor lembu” terang Amat dengan penuh semangat. 

“Wah bagus sekali itu, dia pasti bekerja dengan sangat giat disana” balas Ibu. 

Mendengar jawaban Ibu, Amat berpikir untuk mencoba meminta izin untuk merantau ke Pinang. 

“Bu… apa boleh aku merantau ke Pinang?” tanya Amat. 

Ibu terdiam, suasana sejenak menjadi senyap tanpa ada sedikit pun suara di rumah itu.

Amat merasa tidak enak setelah bertanya seperti itu. Ibu pun tidak mengatakan apapun dan berhenti makan. Keheningan menyelimuti rumah itu, di meja makan tak ada satu pun bunyi yang terdengar pula tak ada satu pun gerakan yang timbul. Semuanya seperti mematung, diam dan hening tanpa ada suara maupun gerakan. 

Amat memberanikan dirinya untuk bertanya sekali lagi. Sungguh ia ingin mendengar jawaban Ibu, apapun itu. 

“Bagaimana bu?” tanya Amat. 

Ibu menyela nafas panjang mengumpulkan suaranya lalu menjawab pertanyaan anak semata watangnya itu “Nak, ibu takut kehilangan mu yang jauh dari Ibu, maka lebih baik kalau engkau tetap disini nak bersama dengan Ibu”. 

Amat merasa sedih mendengar jawaban dari Ibu, ia ingin menyampaikan maksudnya bahwa ia ingin memberikan kehidupan yang layak untuk Ibunya. Namun semua itu harus sirna sebab tiada restu dari Ibu. Amat tau bahwa kalau ia tetap pergi maka tidak ada hal baik yang mengikutinya sebab hati Ibu pasti akan sangat sakit ditinggal anak satu-satunya.

Malam semakin larut, hewan-hewan malam mulai keluar satu demi satu untuk mengumpulkan rahmat Tuhan yang tersebar di penjuru bumi. Amat telah terlelap dalam tidurnya sedangkan Ibu sedang bersimpuh di selembar sejadah tua yang telah kehilangan bulu-bulu di bagian tengahnya. Ia mengangkat kedua tangannya, berdoa, meminta petunjuk dari Tuhan Yang Maha Esa. Matanya mengatup pelan, dalam doanya ia berharap bahwa Amat anaknya selalu diberi petunjuk, dijaga, dan dilimpahkan seluruh rahmat oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Keheningan malam terus berlanjut dan doa Ibu terus melangit.

Subuh telah tiba dengan diam-diam, merebut malam dan mimpi yang panjang dari tidur nyenyak Amat. Usai subuh, Ibu telah memasak berbagai hidangan dari tanaman di sekitar pagar rumah. Amat pun keluar kamarnya setelah wangi masakan itu melayang-layang masuk ke penciumannya. 

“Makanlah nak… Ibu sudah selesai memasak sarapan untukmu” ucap Ibu. 

Amat langsung mengambil piring dan memakan sarapannya dengan sangat lahap. Melihat hal itu ibu sangat senang sekaligus sedih, ia takut ketika anak semata wayangnya itu merantau nanti ia tidak akan mendaapat makan yang enak seperti yang dimakannya sekarang. Ibu pun duduk di hadapan Amat, menyaksikan anaknya itu makan dan menyampaikan hal yang menghantui benak sejak semalam. 

“Nak.. Ibu tau engkau sangat ingin merantau namun ibu berharap engkau tetap disini bersama dengan ibu, rasanya sungguh tak sanggup ibu harus jauh dari engkau anakku” ucap ibu. 

“Iya ibu.. amat tidak akan pergi bila memang ibu tidak mengizinkannya, sungguh sebenarnya Amat hanya ingin Ibu berbahagia” balas Amat. 

“Anakku.. kebahagiaan Ibu adalah engkau, maka apabila engkau berbahagia ibu pun akan ikut bahagia” ungkap ibu yang sesaat terdiam dan Amat menghentikan makannya. 

“Ibu ridha nak… ibu ridha apabila engkau hendak merantau” ucap Ibu. 

“Sungguh bu? Terima kasih bu” ucap amat seraya bangkit dan langsung memeluk Ibunya dengan erat. 

“Tapi berjanjilah satu hal nak, untuk pulang pada Ibu, walau setelah begitu lama engkau berada di perantauan” ucap Ibu. 

“Amat janji bu… Amat janji…” ucap Amat dalam rintihannya di pelukan Ibu.

***

Hari keberangkatan Amat telah tiba. Sebuah kapal besar telah menantinya di pelabuhan. Amat telah menunggu hari ini sejak saat ia mendapat izin untuk merantau dari Ibunya. Menjelang siang sebuah sekoci merapat ke pelabuhan dan menjemput Amat serta beberapa orang lainnya. 

“Bu.. Amat pamit bu, doakan Amat bu agar Amat bisa segera pulang dan membawa banyak rezeki untuk Ibu” ucap Amat sambil mencium tangan Ibunya. 

“Nak.. ibu akan selalu mendoakanmu, segeralah pulang nak, tak usah engkau pikirkan tentang rezeki itu, rezeki yang ibu selalu harapkan adalah kesehatan dan kepulanganmu” ucap Ibu sambil mengusap lembut rambut Amat. 

“Iya bu… nanti Amat akan selalu mengirimkan surat-surat untuk Ibu” ucap amat. 

“Iya nak.. akan ibu nantikan surat-surat darimu” ucap ibu sambil membantu Amat bangkit dan mengantarkannya pada sekoci yang membawa Amat pada sebuah kapal besar di teluk. 

Kapal itu berlayar, menjauhi pelabuhan, memisahkan Ibu dan anak semata wayangnya. Tahun-tahun berlalu, sudah lima tahun sejak Amat pamit berangkat meninggalkan Ibu. Ibu sudah semakin tua sejak saat ditinggal Amat merantau. Hari-harinya selalu dilewati dengan selalu berdoa dan berharap suatu saat Amat segera pulang. Hari ini pun demikian, Ibu mengunjungi pelabuhan sebagaimana biasanya. Ibu melewati tiap kapal yang merapat di pelabuhan mencari Amat diantara kerumunan orang yang memenuhi pelabuhan itu. 

Pencariannya pun masih seperti kemarin dan hari sebelumnya. Ia memutuskan untuk pulang dan berharap bahwa Amat segera tiba. Setibanya di rumah Ibu membuka kembali surat-surat yang dikirimkan Amat. Sudah cukup lama sejak surat terakhir yang Ibu terima. Rasa rindu kembali memenuhi hatinya, kerinduan pada Anaknya. Dalam tiap shalatnya ibu selalu memohon pada Tuhan akan kepulangan dan Kesehatan Amat Rhang Manyang.

***

Lima tahun telah berlalu sejak perantauannya ke negeri Pinang. Amat kini telah menjadi seorang saudagar kaya, ia beristrikan seorang wanita yang sangat cantik jelita. Setelah cukup lama menikah Amat selalu disibukkan dengan pekerjaannya mengurusi bisnis, hingga pada suatu hari Istrinya meminta untuk diajak mengunjungi kampung asal Amat. Mendengar hal itu, Amat merasa khawatir bahwa nanti setelah istrinya mengetahui kondisi keluarganya ia akan merasa benci pada Amat. 

Berkali-kali rencana itu ditolaknya dengan berbagai alasan, Amat bersikeras untuk tidak pulang ke kampungnya. Selang beberapa hari istrinya jatuh sakit, dalam sakitnya ia meminta untuk Amat mengabulkan permintaannya yaitu mengunjungi kampung halaman Amat dan melihat Ibu mertuanya. Amat pun menyetujuinya.

Sebulan setelah sembuh dari sakitnya, Amat dan Istrinya serta beberapa pelayan ikut berlayar dengan tujuan kampung kelahiran Amat. Perjalanan berlangsung dengan lancar, tak ada badai yang mengancam perjalanan itu. Pada suatu malam, Amat dan Istrinya telah tiba di teluk dekat dengan pelabuhan. 

Samar-samar melalui sebuah teropong Amat melihat ke pelabuhan. Tak ada perubahan disana, masih sama seperti saat ia meninggalkannya dulu. Dalam hatinya Amat sungguh rindu dengan Ibu, telah lama ia tidak mengiri surat lagi. Namun ia juga khawatir bahwa istirnya nanti akan membenci dirinya dan Ibunya.

Pagi telah tiba, sekoci telah disiapkan. Amat dan istrinya merapat ke pelabuhan. Di pelabuhan ia disambut oleh banyak sekali orang yang menyaksikan kedatangannya. Diantara kerumunan itu Ibu telah menantinya dengan penuh harap. Amat menapakkan kakinya di pelabuhan, ikut bersamanya sang istri dan beberapa pengawal. Mata Amat terus mencari sosok Ibu dalam kerumunan itu, ia melihat kesana dan kemari tapi sosok Ibu tak ditemukannya. 

Lalu ia berjalan beberapa langkah dengan didampingi oleh Istrinya “Kanda.. dimanakah Ibu yang selalu engkau ceritakan padaku?” tanya Istrinya. 

“Kanda pun tidak tahu Dinda.. sudah begitu lama Kanda tidak bertemu dengan Ibu dan tidak mengetahui kabar beliau” balas Amat. 

Lalu diantara kerumunan itu, sesosok perempuan tua dengan baju yang lusuh dan kain tua yang robek-robek muncul dengan memanggil “Amat… Amat.. anakku… Amat.. ini Ibu nak” teriak Ibu diantara kerumunan. 

Mendengar suara Ibu mata Amat langsung menuju pada asal suara. Ia kenal betul suara dari wanita tua yang dilihatnya. Hatinya begitu sedih melihat kondisi Ibu, ingin segera ia menghambur dan memeluk Ibu dengan eratnya.

“Kanda.. siapa itu? Wanita itu memanggilmu anaknya” ucap Istri Amat. 

“Yang mana Dinda? Aku tidak melihatnya” balas Amat. 

“Itu… Wanita tua yang kotor, lusuh, dan mengenakan kain yang robek-robek itu” tunjuk Istrinya. 

Mendengar hal itu, amat hanya terdiam, ia tahu kalau ia mengatakan bahwa wanita itu adalah Ibunya maka istrinya akan sangat kecewa pada dirinya. Ibu lalu bergerak maju menembus kerumunan orang dan memeluk Amat dengan erat, melihat hal itu para pengawal lalu melepasnya dari Amat, menauhkannya dari Anak kesayangnya itu. 

“Amat.. ini ibu nak… ibu yang telah membesarkanmu..” ucap ibu sambil berusaha sekuat tenaga melawan dari cegahan para pengawal. 

“Mana mungkin wanita tua ini ibu mu kanda… Ibu mu adalah seorang Wanita yang cantik dan berasal dari keluarga yang terpandang di daerah ini” ungkap Istri Amat. 

“Benar Dinda.. dia bukan ibuku.. ibuku mungkin telah tiada” ucap Amat lalu pergi menjauh dari kerumunan itu dan meninggalkan ibu yang terkejut mendengar ucapan Amat anaknya yang sangat dicintainya. 

Mendengar hal itu, Ibu rubuh, hatinya hancur. Air matanya tak terbendung, mengalir dengan derasnya dari pelupuk mata. Tak tahan dengan perlakuan Amat, Ibu pun berdoa lalu mengharapkan kesadaran dan keadilan untuk anaknya. Angin pun berembus kencang, langit menghitam dan petir menyambar membuat seluruh penduduk ketakutan dan meninggalkan pelabuhan dengan segera. Melihat keadaan cuaca yang tiba-tiba berubah Amat kemudian sadar bahwa perkataannya sudah menyakiti hati sang Ibu. 

Tidak sepantasnya ia menyakiti sang Ibu dengan lisannya setelah apa yang telah ibunya berikan untuk Anak kesayangannya itu. Ia kemudian lari, melepas rangkulan istrinya, meninggalkan semua pengawalan yang ia miliki. Amat kemudian bersujud di hadapan ibunya memohon maaf, namun sungguh sayang semuanya telah terlambat. Ombak besar kemudian menghantam kapalnya, menghancurkannya berkeping-keping. 

Lalu seluruh isi kapal tersebut berubah menjadi batu karang. Amat yang terus bersujud meminta ampunan dan maaf dari ibunya juga perlahan berubah menjadi batu. Kini batu karang tersebut masih dapat dilihat di Aceh dan disebut dengan Batu Kapal Amat Rhang Manyang.


PENULIS

Firdaus Adiannur

ASAL CERITA

Aceh

BAHASA

Bahasa Indonesia

KATEGORI

Cerita Rakyat

LABEL

Tidak Ada Label
Favorit
v: 2.2.1