Dahulu, di kawasan Jawa, hiduplah seorang pendeta yang sangat sakti bernama Danghyang Bajrasatwa. Pendeta tersebut memiliki seorang putra bernama Danghyang Tanuhun atau Mpu Lampita. Danghyang Tanuhun adalah seorang pendeta Budha yang memiliki kepandaian Iuar biasa serta bijaksana dan sakti mandraguna seperti ayahnya. Danghyang Tanuhun memiliki Iima orang putra yang dikenal dengan sebutan Panca Tirtha. Kelima anaknya ini memiliki kecerdasan dan kebijaksanaan yang sama dengan Danghyang Tanuhun. Kelima putra Danghyang Tanuhun adalah Mpu Gnijaya, Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Rajakretha, dan Mpu Pradah.
Mpu Pradah, putra kelima Danghyang Bajrasatwa, mempunyai putra Iaki-Iaki dari keutamaan yoga beliau yang bernama Mpu Bahula. Bahula berarti utama. Kepandaian dan kesaktian beliau di dunia sama dengan ayahandanya, Mpu Bharadah. Beliau memperistri putri dari Rangdeng Jirah, seorang janda di tanah Jirah yang bernama Ni Dyah Ratna Manggali.
Mpu Bahula memiliki anak laki-Iaki bernama MpuTantular yang sangat pandai di dalam berbagai ilmu filsafat. Mpu Tantular dikenal sebagai penyusun Kakawin Sutasoma di mana di dalamnya tercantum “Bhineka Tunggal Ika” yang menjadi semboyan negara Indonesia. Beliau juga bergelar Danghyang Angsokanata.
Mpu Tantular memiliki empat orang anak yang semuanya Iaki-Iaki. Keempat putra beliau bernama Mpu Danghyang Panawasikan, Mpu Bekung atau Danghyang Siddhimantra atau Danghyang Nirartha, Mpu Danghyang Smaranatha dan Mpu Danghyang Soma Kapakisan.
Dikisahkan putra kedua Mpu Tantular, Ida Mpu Bekung, adalah seorang laki-laki mandul yang tidak bisa memiliki ketutunan. Namun hal itu tidak membuat Mpu Bekung putus asa.
Suatu hari, Mpu Bekung berkeinginan untuk memiliki putra yang akan menjadi penerusnya kelak. Beliau melaksanakan upacara homa, sebuah upacara memuja Sanghyang Brahmakunda Wijaya untuk memohon anak. Dalam upacara tersebut beliau berdoa, “Sanghyang Brahmakunda Wijaya, sudilah kiranya engkau menganugrahi aku seorang putra sebagai penerusku kelak.”
Berkat kesaktian dan permohonannya itu, beliau dianugrahi batu besar yang keIuar dari api homa tersebut. Kemudian, tampak keluar bayi dari tengah-tengah api pemujaan. Anak itu kemudian diberi nama Ida Bang Manik Angkeran (Bang dari merah, Manik dari inti batu besar yang menjadi anugrah, dan Angkeran dari keangkeran pemujaan sang pendeta yang demikian khusuknya).
Setelah beliau memiliki putra, Mpu Bekung sangat bersukacita. Manik Angkeran sangat diperhatikan dan dimanjakan. Apa yang diinginkan Manik Angkeran selalu dipenuhi. Setelah Ida Bang Manik Angkeran menginjak remaja Mpu Bekung mulai merasakan duka mendalam karena putranya sehari-hari hanya berjudi dan tidak pernah tinggal diam di rumah. Di mana ada perjudian, di sana pasti ada Ida Bang Manik Angkeran.
Mpu Bekung memiliki sebuah padepokan yang sangat terkenal. Hingga orang luar desa juga berguru di padepokan itu. Berbeda halnya dengan murid lainnya, putra beliau, Manik Angkeran tidak suka belajar, dia suka menghambur-hamburkan harta dengan berjudi. Hampir setiap hari ia pergi pagi pulang malam hanya untuk berjudi.
Suatu hari, Mpu Bekung pergi untuk menyebarkan ilmunya. Beliau menyuruh murid-muridnya untuk menjaga padepokan dan tetap belajar. Sebelum pergi Mpu Bekung berkata pada murid-muridnya, “Wahai murid-muridku, agama di desa sebelah mulai meluntur, selama beberapa hari guru akan memperbaiki keadaan di sana dengan menyebarkan agama dan dharma, guru akan menitipkan padepokan ini kepada kalian muridku.”
Murid-muridnya menjawab serentak, “Baik, Guru.” Mpu Bekung menatap Manik Angkeran dan berkata, “Dan kau anakku, Manik Angkeran, aku mempercayaimu secara penuh untuk menjaga padepokan ini.” Sambil tersenyum mencium tangan ayahandanya Manik Angkeran menjawab “Baiklah, Ayahanda pergilah dengan tenang. Aku akan mengurus padepokan ini dengan baik.”
Mpu Bekung lalu melangkah meninggalkan padepokan. Manik Angkeran segera bersiap hendak pergi ke tempat perjudian namun ditahan oleh salah satu murid ayahnya. “Manik, bukankan ayahmu memintamu menjaga padepokan ini? Kamu mau kemana?” tanya murid tersebut.
“Jangan banyak bertanya, nanti aku sial dan kalah judi. Urusan padepokan kamu saja yang menanganinya.” Lalu, Manik Angkeran pergi meninggalkan murid tersebut.
Sesampainya ditempat perjudian, Manik Angkeran dihampiri salah satu penjudi sambil berkata, “Wahai Manik Angkeran, kau kembali lagi. Kau sudah siap kalah?” “Bersiaplah untuk kehilangan uangmu, Manik. Kau hanya pecundang yang tidak pernah menang dalam berjudi,” tambah penjudi lainnya.
“Aku membawa banyak koin emas. Tenang saja, akan aku kalahkan kalian semua,” sahut Manik Angkeran dengan angkuh. “Janganlah kau banyak bicara. Cepat lawan aku!” teriak Manik Angkeran menantang.
Seperti biasa, Manik Angkeran selalu kalah dalam berjudi dan ia pun kehabisan hartanya. Beberapa hari kemudian, Mpu Bekung kembali ke padepokan. Seorang muridnya langsung memberi salam dan menyuguhkan air minum. Mpu Bekung bertanya pada muridnya, “Bagaimana keadaan padepokan setelah kutinggal beberapa hari? Apakah ada pemasalahan atau ada yang berkelahi?”
“Semua berjalan baik, Guru. Namun putramu, Manik Angkeran, melakukan perjudian dan terlibat sabung ayam di desa-desa lain setiap hari. Banyak yang mengatakan putramu membuat onar dan berhutang pada banyak orang untuk berjudi,” murid tersebut menjelaskan.
Sesaat kemudian, Manik Angkeran kembali ke Padepokan dengan wajah lesu karena kalah berjudi. “Manik Angkeran putraku, dari mana saja kamu?” Mpu Bekung menanyai anaknya. “Sudahlah Ayah, jangan bertanya lagi. Aku sedang kesal karena kalah berjudi terus,” jawab Manik Angkeran dengan muka marah.
“Judi itu tidak baik anakku. Ayah harap kamu tidak terlibat perjudian lagi setelah ini,” Mpu Bekung mencoba menasihati anaknya. Alih-alih mendengarkan nasihat ayahnya, Manik Angkeran malah pergi meninggalkan ayahnya untuk tidur.
Keesokan harinya, Manik Angkeran mendekati ayahnya yang sedang melakukan pemujaan sambil berkata, “Ayahanda, aku akan ke desa sebelah untuk merenungkan kesalahanku selama ini.” Mendengar hal itu, Mpu Bekung merasa terenyuh. Sambil menyerahkan beberapa kantong yang berisi kepingan emas dia berkata pada Manik Angkeran, “Baiklah anakku, renungkan dan perbaikilah semua kesalahanmu selama ini. Daat kamu di desa sebelah, belilah makanan enak dengan koin emas ini agar kamu tidak sakit.”
“Terimakasih Ayahanda” sahut Manik Angkeran seraya menyambar kantong koin emas dari genggaman ayahnya.
Manik Angkeran bergegas meninggalkan padepokan menuju desa sebelah, namun tentu saja bukan untuk menyadari kesalahannya tetapi berjudi kembali. Manik Angkeran tidak pernah menang berjudi. Selalu kalah hingga habis harta milik ayahnya dipergunakan untuk berjudi. Mpu Bekung sangat sedih. Bukan saja karena kegemaran anaknya berjudi tetapi tiada Iain karena putranya tidak pernah pulang ke Padepokan setelah berjudi.
Mpu Bekung memutuskan untuk mencari Manik Angkeran. Setiap orang yang dijumpai di tengah jalan, ditanyainya. Namun, semua orang mengatakan tidak pernah mengetahui dan menemui anaknya. Sudah lama Mpu Bekung mengembara mencari Manik Angkeran namun tidak juga dijumpai. Sampai akhirnya ia tiba di kawasan Tohlangkir-Gunung Agung. Di sana beliau duduk seraya bersemedi menyatukan pikiran beliau, memuja Dewa seraya membunyikan genta beliau yang bernama Ki Brahmara.
Karena keutamaan puja mantra beliau diiringi dengan suara genta, Ki Brahmara, yang demikian menakjubkan, tiba-tiba munculah seekor naga besar yang bernama Ida Sanghyang Basuki, seraya berkata, "Ah, Mpu Bekung yang datang. Apa keinginan Mpu memujaku? Segera katakan agar aku tahu!"
Mpu Bekung berkata, "Sanghyang Basuki, hamba memiliki seorang anak laki-laki yang tidak pernah pulang. Sudah sejak lama hamba mencarinya, namun belum juga menemukannya. Hamba bermaksud memohon Sanghyang memberitahu keadaan sebenarnya. Apakah dia masih hidup, atau sudah mati. Jika masih hidup, beri tahulah hamba, di mana dia berada."
Dengan tersenyum, Ida Bhatara Basuki berkata, "Ah Mpu, hendaknya Mpu jangan bersedih hati. Sebenarnya putra Mpu masih hidup dan berada di desa lain, bermalam di sana. Sekarang aku yang akan menarik jiwanya agar segera pulang kembali. Namun, aku minta sari susu lembu sebagai imbalan jika aku telah berhasil membuat putramu pulang." Demikian wacana Sang Nagaraja, Ida Bhatara Basuki, seraya meminta Mpu Bekung agar pulang ke padepokannya.
Mpu Bekung memohon diri kembali ke padepokan dari Tohlangkir. Sesampainya di Padepokan Daha, dilihatnya sang putra telah berada di rumah. Mpu Bekung sangat bahagia dan seraya berkata, "Putraku Manik Angkeran, dengarlah, janganlah Ananda mengulangi perbuatan yang sudah-sudah. Ayahanda mengijinkan ananda untuk berjudi, namun ananda ingatlah kembali pulang ke padepokan ini setelah berjudi."
Manik Angkeran menjawab, "Singgih Mpu, Ayahandaku. Janganlah sekali-kali Ayah marah serta bersedih. Aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi." Seusai Mpu Bekung memberikan nasihat kepada putranya, beliau ingat kepada permintaan Ida Bhatara Naga Basuki yang menginginkan susu lembu. Keesokan harinya, lengkap dengan gentanya, beliau melakukan perjalanan menuju Tohlangkir-Gunung Agung. Sesampainya di Tohlangkir, beliau mempersiapkan diri dan melakukan yoga semadi memuja Ida Sanghyang Nagaraja seraya membunyikan genta beliau.
Karena kehebatan weda mantra beliau memuja Ida Sanghyang Nagaraja, segera Ida Bhatara keluar seraya bersabda, "Ah, Mpu Bekung yang datang. Apa keinginan sang Mpu datang lagi?" Mpu Bekung menjawab, " Sanghyang Basuki, hamba datang menghadap Bhatara, bermaksud menghaturkan sarinya susu lembu, sesuai dengan keinginan Sanghyang. Sebagai ucapan terimakasih karena putra hamba sudah ketemu, ada di Padepokan Daha."
Mendengar kata Mpu Bekung seperti itu, Ida Bhatara Basuki sangat gembira, berganti rupa menjadi Nagaraja Agung, kemudian meminum sarinya susu sampai beliau kenyang. Setelah beliau kenyang meminum susu lembu itu, seraya berbalik, Nagaraja mengeluarkan emas. Mpu Bekung diminta mengambil emas itu. Mpu Bekung mengambil emas itu kemudian membungkusnya, beliau mohon diri kepada Ida Sanghyang Basuki, beberapa saat kemudian sampailah beliau di Padepokan Daha sambil membawa emas.
Mengetahui ayahnya membawa pulang banyak emas, Manik Angkeran gencar bertanya, meminta kepada ayahandanya agar diberi tahu di mana memperoleh emas itu. Mpu Bekung sangat merahasiakan perihal tempat beliau mendapat emas itu. Putra beliau tetap saja gencar mencari tahu.
Mpu Bekung berkata kepada putranya, "Anandaku, tidak perlu Engkau bertanya di mana Ayah mendapatkan emas ini, jika kamu menginginkannya, Ayah akan berikan semua kepadamu." Walaupun demikian, Manik Angkeran bersikukuh memaksa bertanya perihal tempat mendapatkan emas itu, akhirnya Mpu Bekung pun memberitahukan tempat beliau mendapatkan emas itu.
Sekarang, Manik Angkeran sudah memiliki emas ayahnya. Maka, pergilah Manik Angkeran bermain judi. Mungkin memang sudah menjadi kehendak Yang Maha Kuasa, setiap berjudi Manik Angkeran selalu kalah. Akhirnya, tidak sampai satu bulan, habislah sudah emas yang diberikan ayahandanya dijual, dipakai untuk berjudi. Dalam keadaan kalah, Manik Angkeran berpikir keras. Kemudian, dia ingat cerita ayahandanya perihal bagaimana beliau mendapatkan emas yang merupakan anugerah dari Bhatara di Tohlangkir.
Segera Manik Angkeran pulang ke padepokan secara sembunyi-sembunyi agar tidak diketahui ayahandanya. Manik Angkeran bertolak menuju Tohlangkir sambil membawa sari susu lembu, serta genta milik ayahandanya, Ki Brahmara.
Sampailah Manik Angkeran di Tohlangkir, di depan gua, Manik Angkeran duduk bersemedi, memuja Dewa, seraya membunyikan genta. Rupanya pemujaan yang khusuk, serta diiringi dengan bunyi genta yang sakti itu membuat Bhatara Naga Basuki terbangun dan keluar dari gua seraya berkata, "Siapa kamu? Segera katakan!"
Segera Manik Angkeran menyembah "Singgih paduka Sanghyang, hamba bernama Ida Bang Manik Angkeran. Hamba mengikuti jalan Ayahanda hamba, menghaturkan sarinya susu lembu ke hadapan paduka Sanghyang," demikian hatur Manik Angkeran.
Mendengar hal itu, Ida Bhatara Basuki sangat senang. Lalu, diminumlah susu itu, setelah berganti rupa menjadi ular naga besar berwibawa. Seusai meminum susu itu, bersabdalah beliau kepada Manik Angkeran. "lh, Sang Bang, sekarang apa yang kamu inginkan, apapun yang ananda minta akan aku berikan." Mendengar itu, Manik Angkeran menjawab bersemangat, "Singgih paduka Bhatara, hamba bermaksud untuk memohon modal, nista sekali hamba berjudi, selalu kalah setiap hari.”
Sesaat kemudian, Ida Bhatara Basuki mengambil emas, seukuran sebutir kelapa besarnya, diberikannya kepada Manik Angkeran, seraya bersabda, "Ambillah emas ini, segera ananda pulang, poma, poma." Lalu diambil emas itu oleh Ida Bang Manik Angkeran, disertai sembah bakti sekaligus memohon pamit ke hadapan Ida Bhatara Nagaraja.
Setibanya di padepokan Daha, setelah mengembalikan Ki Brahmara, genta milik ayahandanya, Manik Angkeran lalu pergi lagi untuk bermain judi. Tidak sampai satu bulan, habis juga modalnya. Manik Angkeran, kembali mengambil genta milik ayahandanya, seraya mencari sarinya susu lembu, dan menyelipkan pedang yang bernama Ki Gepang di pinggangnya, menuju Tohlangkir.
Setibanya di Tohlangkir, Manik Angkeran duduk seperti yang dilakukan sebelumnya, bermeditasi memuja Dewa, serta membunyikan gentanya. Karena genta itu betul-betul genta bertuah, Ida Sanghyang Basuki pun ke luar guanya seraya bersabda, "Ah, Sang Bang Manik Angkeran kiranya yang datang lagi membawa susu. Apa lagi permintaanmu, katakan saja apa maumu akan kuberikan!" Menanggapi pertanyaan Ida Sanghyang Basuki, Manik Angkeran mengatakan tidak memohon apa-apa. Mendengarnya, Ida Bhatara berganti rupa kembali menjadi ular naga yang besar, seraya meminum susu lembu tersebut kemudian kembali masuk ke dalam gua.
Ida Sanghyang Basuki berbadan panjang, ketika bagian kepala beliau sudah tiba di tempat peraduan, maka bagian ekor beliau masih berada di luar gua. Manik Angkeran melihat ekor Ida Bhatara menyala karena terdapat intan besar beralaskan emas dan batu mirah yang menyala gemerlapan. Muncul rasa angkara dan tamak Manik Angkeran untuk memiliki permata itu. Manik Angkeran menghunus pedang Ki Gepang yang dibawanya dan segera memenggal ekor Ida Sanghyang Nagaraja, sehingga terputus mata intan yang ada di bagian ekornya, diambil dan dilarikan oleh Manik Angkeran.
Tak terkira murka Ida Bhatara Nagaraja. Merasa ekornya terluka, seketika ia kembali bergerak ke luar gua. Dilihat mata intan yang ada di bagian ekornya dilarikan oleh Manik Angkeran. Ida Sanghyang Basuki menyemburkan api, yang mengikuti arah perjalanan Manik Angkeran yang kemudian terbakar habis menjadi abu.
Sementara itu, Mpu Bekung merasa gusar, karena putranya tidak pernah pulang lagi ke padepokan. Segera beliau bersemedi, karena kesaktiannya, dilihatlah putranya sudah menjadi abu. Mpu Bekung segera pergi menuju Bali, tepatnya ke Besakih. Di sana beliau melihat onggokan abu, sementara sebuah genta berada di sebelah abu itu. Diketahuinya dengan jelas, bahwa genta itu adalah gentanya yang bernama Ki Brahmara. Sudah pasti abu itu merupakan jasad putranya, Manik Angkeran.
Mpu Bekung menangis dan sangat berduka. Beliau tahu meninggalnya Manik Angkeran pasti disebabkan oleh perbuatannya yang tak terpuji, sehingga sampai disembur api oleh Ida Sanghyang Nagaraja. Mpu Bekung kemudian mengambil genta Ki Brahmara yang sakti itu dan bergegas menghadap Ida Sanghyang Basuki. Setibanya di depan gua, seperti sebelumnya, beliau kemudian duduk melakukan pemujaan utama memohon ke hadapan Ida Sanghyang Basuki. Lama sudah beliau melakukan pemujaan. Lama beliau menunggu, tidak juga keluar Ida Sanghyang Basuki, karena Ida Sanghyang Basuki masih sangat marah, mengingat dia telah diperdaya oleh suara genta.
Mpu Bekung melanjutkan lagi pemujaannya dengan lebih khusuk diiringi dengan suara genta yag lebih keras dan menggema. Akhirnya Ida Bhatara keluar dan dilihatnya Ida Mpu Bekung ada di sana yang kemudian merangkul, seraya menghaturkan sembah sujud agar Ida Bhatara memberikan anugrah sambil berkata, “Paduka Bhatara, ampunilah anak hamba. Hamba tahu perbuatannya yang tak berbudi dan tak terpuji. Sudilah Bhatara menceriterakan perbuatan anak hamba yang membuat Paduka murka seperti saat ini.”
Lama Ida Bhatara berdiam diri. Mukanya cemberut, menunjukkan kekesalan perasaannya yang tak terhingga. Namun, karena Mpu sudah memohon maaf dengan tulus dan suci, maka Ida Bhatara berkata perlahan menceriterakan segala perbuatan yang dilakukan Manik Angkeran, berbohong mengatakan diutus oleh Mpu Bekung untuk menghaturkan susu lembu, sampai akhirnya dihanguskan menjadi abu oleh beliau.
Mana kala Mpu Bekung mendengar ceritera Ida Bhatara, meleleh air mata Mpu Bekung, dan sesudah Ida Bhatara selesai bersabda, beliau kemudian kembali menghaturkan sembah seraya berkata, "Singgih pakulun paduka Bhatara, betapa besar dosa anak hamba, namun kini dia sudah meninggal dan menjadi abu. Hamba sekarang memohon anugerah pakulun Bhatara, sudilah kiranya paduka Bhatara menghidupkan kembali Manik Angkeran, karena dia anak hamba satu-satunya, sebagai pewaris keturunan yang akan melanjutkan keberadaan hamba kelak. Bila mana dia nanti hidup kembali, hamba akan menyerahkan dirinya kepada paduka Bhatara, agar menghamba di sini selamanya.”
Mendengar hatur Mpu Bekung sedemikian itu, Ida Bhatara merasa kasihan seraya bersabda, "Ah, Sang Mpu, bila demikian permintaanmu, aku dengan suka rela menghidupkan anakmu, namun Mpu harus menyambung kembali ekorku." Mpu Bekung menyembah, " Sanghyang Nagaraja, bila demikian keinginan paduka hamba bersedia untuk menyambung kembali ekor paduka Bhatara, jika paduka Bhatara berkenan, permata intan yang sebelumnya berada di ekor paduka, sebaiknya ditempatkan saja di bagian mahkota paduka Bhatara, agar mereka yang jahat tidak akan tergoda untuk memilikinya, juga membuat paduka Bhatara tidak bisa terbang karena keberatan jika diletakkan di bagian ekor."
Demikian sukacita Ida Sanghyang Nagaraja saat mendengar ucapan Mpu Bekung. Sang Mpu melaksanakan yoga samadhi menghaturkan maha pujamantra, menyatukan mata batin beliau memuja Ida Bhagawan Wiswakarma sebagai manifestasi Dewa sangging dan undagi (pekerja khusus bangunan tradisional) di Surga.
Seusai sempurna pemujaan serta permohonan beliau, Mpu Bekung membuat lingkaran mahkota, dengan hiasan candi kurung, garuda mungkur, dengan anting anting, bergundala dan memakai sekar taji disekelilingnya. Mahkota yang sangat indah. Selesai sudah mahkota agung itu. Ida Sanghyang Basuki sangat senang mengenakan mahkota itu karena selain tampak menawan Sang Nagaraja sekarang bisa terbang.
Segera Ida Bhatara menghidupkan jasad Manik Angkeran, didahului dengan pemujaan weda mantra. Perlahan, Manik Angkeran bangun, hidup seperti semula, seketika itu pula Manik Angkeran berusaha berlari secepatnya. Mpu Bekung segera mengejar dan mengajaknya kembali untuk menghadap Ida Bhatara Hyang Basuki.
Sesuai dengan perjanjian, Manik Angkeran dihaturkan untuk mengabdi pada Ida Sanghyang Basuki. Ida Sang Nagaraja sudah menghidupkan kembali Ida Sang Bang Manik Angkeran. Mpu Bekung demikian saktinya bisa menyambung kembali ekor Ida Bhatara Nagaraja. Ida Mpu Bekung kemudian menghaturkan sembah terimakasih kepada Ida Sanghyang Basuki. Ida Sanghyang Basuki kemudian bersabda, "Duh, Mpu Bekung, memang demikian saktinya kamu ini, pantas kiranya kamu bergelar Siddhimantra. Mulai saat ini, tidak lagi Mpu Bekung namamu, namun Danghyang Siddhimantra namamu sang pandita. Sekarang, pulanglah sahabat karibku, semoga panjang usiamu!"
Lalu, Ida Sanghyang Nagaraja terbang menuju Surga Loka. Sejak saat itu Mpu Bekung bergelar “Danghyang Siddhimantra”.
Sebelum Ida Danghyang Siddhimantra kembali ke padepokan Daha di Jawa, beliau memberikan petuah kepada putranya Manik Angkeran. "Duhai anakku Manik Angkeran, Ananda akan Ayah tinggalkan sekarang ini. Ayahanda akan kembali ke Jawa. Ananda akan Ayahanda haturkan kepada Ida Sanghyang Basuki, sesuai dengan janji ayahanda kepada beliau.
Mungkin Ananda belum paham perihal keberadaan Ananda sendiri yang sebelumnya dihanguskan oleh Ida Bhatara sampai habis menjadi abu, karena amarah yang tak terhingga. Perilaku ananda sungguh tak terpuji, memenggal ekor Ida Bhatara Basuki, hingga ayahandamu ini memohon kepada Ida Bhatara, agar beliau dengan senang hati menghidupkan kembali Ananda, dengan janji, ketika Ananda bisa hidup kembali, Ananda akan Ayah haturkan kepada Ida Bhatara untuk mengabdi di sini di Tohlangkir, Besakih.
Selain itu, jika Ananda kembali ke Jawa, jelas perilaku Ananda akan kembali seperti yang dulu, sebab lingkungan Ananda di sana sudah sedemikian rupa. Tinggallah Ananda di sini, Ayahanda akan kembali ke tanah Jawa. Jangan Ananda salah paham, sebab sebenarnya perasaan Ayahanda dan kasih sayang ayahanda kepada Ananda, tidak pernah berkurang sejak dahulu sampai kapan pun.
Teruskanlah dharma bakti Ananda ke hadapan Ida Bhatara Basuki di sini di Tohlangkir, Besakih. Jangan sampai pergi dan mengabaikannya, jika itu terjadi, Ayahanda akan dianggap ingkar janji, sangat hina rasanya disebut seperti itu. Ada lagi yang ingin Ayahanda sampaikan, karena Ananda Manik Angkeran sudah pernah mengalami pralina atau wafat menjadi abu kemudian disucikan menjadi hidup kembali, hidup untuk kedua kalinya, berdwijati namanya.
Sekarang Ananda berhak menjadi pendeta. Ayahanda berharap agar Ananda senantiasa menyelenggarakan, mengatur serta memimpin penyelenggaraan segenap upakara dan upacara di sini di Besakih. Juga agar Ananda mengatur semua masyarakat umat di seluruh Bali, sehingga semakin meningkat bhakti dan sradha imannya, kepada Ida Bhatara dan Sthananya."
Manik Angkeran mengiyakan semua yang diminta dan disampaikan oleh ayahandanya. Selain petuah nasehat, Manik Angkeran juga diberikan pengetahuan suci yang memberikan wewenang Ida Sang Bang Manik Angkeran untuk mengucapkan mantra-mantra yang ada dalam weda, menyelesaikan upacara dan upakara, di samping diberikan pengetahuan kerohanian daya kebatinan yang tinggi. Setelah Ida Sang Bang Manik Angkeran mendapat pengetahuan suci dan kerohanian, beliau kemudian ditinggalkan oleh ayahandanya untuk melakukan perjalanan pulang kembali ke tanah Jawa. Manik Angkeran sudah sadar dan berubah, ia pun tidak membantah dan menuruti semua perintah ayahandanya tersebut.
Dalam perjalanan pulangnya, tibalah beliau di tanah Genting, tempat perbatasan antara Jawa dan Bali. Di sana beliau termenung, teringat perilaku putranya yang tak terpuji sebelumnya. Timbul kekhawatiran dalam perasaan beliau, seandainya Ida Sang Bang Manik Angkeran kembali lagi ke Jawa, lantas beliau mencari cara agar putranya tidak bisa lagi kembali ke Jawa. Beliau lalu menggelar yoga semadi. Menyatukan batinnya, memuja Bhatara di pegunungan untuk meminta ijin menciptakan laut, lalu tanah Genting itu digores dengan tongkat sakti beliau.
Tiba-tiba, kawasan Bali dan Jawa bergetar dengan dahsyat, gempa terjadi, kilat dan halilintar menyambar bertubi-tubi. Kini terpisah dan putuslah kawasan Bali dengan Jawa. Laut telah memisahkan keduanya. Danghyang Siddhimantra kembali pulang ke padepokan Daha di Jawa. Laut itu dinamakan dengan Segara Rupek dan sekarang lebih di kenal dengan nama Selat Bali.