Posma Sihombing

Weriata: Asal-Usul Tanaman Pangan di Manggarai

Tahukah kamu letak Pulau Flores? Pulau Flores adalah sebuah pulau indah yang terletak di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Topografi di pulau tersebut berbukit – bukit dengan banyak sekali bebatuan  keras di sana, sehingga tanaman pangan sebenarnya sangat sulit tumbuh di atas bebatuan tersebut. Akan tetapi ada sebuah kisah ajaib yang terjadi di sana. Kisah ini tepatnya terjadi di wilayah Tanah Manggarai dan beginilah ceritanya.

Dahulu kala, ada seorang pria yang gagah tinggal di sebuah kampung kecil. Kampung itu bernama Kolang sedangkan pria itu bernama Poca. Ia sudah lama menyendiri di kampung tersebut. Umurnya sudah mencapai 30 tahun tetapi ia masih belum menemukan seorang wanita yang akan dijadikan sebagai istrinya. 

Poca sangat taat kepada Tuhan atau dalam Bahasa Manggarai disebut Mori De Kraeng. Ia setiap hari selalu ingat berdo’a sebelum memulai kegiatannya sehari-hari. Tuhan tahu bahwa Poca sangat setia kepada-Nya, tetapi Ia ingin menguji kesetiaan Poca. Suatu malam, Poca berdoa memohon kepada Tuhan.

“Ya, Mori Kraeng! Berikanlah kiranya kepada saya seorang wanita yang layak saya jadikan pendamping hidupku. Saya sangat kesepian saat mencari makanan di hutan ini, kiranya Engkau mengabulkan permohonan hamba ini, ya Mori.”

Setiap harinya Poca hidup dengan berburu binatang liar dan memakan akar-akaran  yang ada di hutan, karena pada saat itu masih belum ada tanaman pangan seperti yang kita kenal saat ini di wilayah tersebut. Ketika ia sedang berburu binatang liar di hutan, ia mendengar ada suara aneh dari balik pepohonan bambu. Ia berkata dalam hatinya, 

“Suara apakah gerangan itu? Sepertinya itu suara seorang manusia”.

Kemudian dia berjalan perlahan-lahan mendekati asal suara tersebut. Ketika dia berada cukup dekat dengan sumber suara tersebut, dia sangat terkejut. “Hah? bukankah itu adalah seorang gadis? Mengapa bisa dia ada di sini?”

Gadis itu sangat cantik, bola matanya berwarna coklat rambutnya ikal berwarna hitam serta kulitnya berwarna putih.

Poca pun memberanikan diri menghampiri Nalas dan bertanya,

“Wahai nona cantik, siapakah namamu dan darimanakah asalmu?” tanya Poca. 

“Nama saya Nalas, Tuan. Saya berasal dari pohon bambu ini,” jawab Nalas.

Setelah perkenalan itu, mereka memutuskan untuk hidup bersama. Poca membawa Nalas ke Kolang dan mendirikan sebuah gubuk sederhana sebagai tempat tinggal mereka. Poca sangat bersyukur karena do’anya dikabulkan oleh Mori De Kraeng dengan memberikan dia pendamping seorang wanita yang cantik jelita.

“Terima kasih, Mori Kraeng. Engkau telah mengabulkan permohonan hamba. Saya berjanji akan selalu setia pada setiap perintah-Mu dan menjauhi semua larangan-Mu," kata Poca dalam hatinya.

Suatu hari, saat mereka sedang mencari makanan di hutan. Mereka bertemu dengan dua orang pemuda asing yang berasal dari Makasar. Kedua pemuda ini adalah kakak beradik. Mereka sangat terpikat oleh kecantikan istri dari Poca yaitu Nalas. Mereka mengira bahwa Nalas adalah adik dari Poca. Mereka ingin membawa Nalas ke kerajaan mereka.

Mengetahui maksud mereka itu, Poca menjadi sangat khawatir dan takut. Ia tidak ingin isterinya dibawa oleh orang asing tersebut. Saat ia sedang tertidur, ia bermimpi didatangi oleh dua malaikat yang bernama Emadara dan Surula.

“Hai, Poca. Tinggalkanlah kampung Kolang ini! Pergilah, bawalah istrimu ke arah selatan sampai kamu temukan suatu wilayah luas di atas pegunungan yang bernama Tanah Lewar”.

Keesokan paginya, Poca beranjak meninggalkan Kolang pergi bersama dengan istrinya untuk menghindari para pemuda asing yang menginginkan isterinya tersebut. Mereka berjalan menelusuri hutan dengan berjalan kaki. Tujuh hari lamanya mereka menempuh perjalanan untuk dapat sampai di daerah yang ditunjukkan oleh dua malaikat Tuhan dalam mimpi Poca. 

Sesampainya di sana, ia pun segera mendirikan gubuk kecil di Tanah Lewar itu dan kembali hidup dengan berburu dan memakan akar-akaran pohon di hutan untuk dapat bertahan hidup.

Tidak terasa, sudah hampir sepuluh tahun mereka membangun keluarga di sana. Mereka sangat merindukan akan kehadiran seorang anak untuk menghibur dan menemani mereka. Setiap malam mereka berdo’a kepada Mori De Kraeng.

“Ya, Mori. Engkau tahu bahwa kami adalah umat-Mu yang setia mengikuti perintah-Mu. Kami sangat merindukan seorang anak yang dapat menemani hari-hari kami. Berikanlah kiranya kami anak dari darah dan daging kami, ya Mori”.

Setelah mereka berdo’a, mereka memutuskan untuk tidur. Saat tertidur, lagi-lagi Poca bermimpi didatangi oleh malaikat Tuhan, dan berkata:

“Mori De Kraeng sudah mendengar do’amu dan tetaplah setia mengikut Dia. Ingat, jika kamu sudah memiliki anak nanti, berilah namanya Tandang”

“Terima kasih, Mori. Kami akan selalu setia mengikuti perintah-Mu,” jawab Poca dengan sangat gembira.

Keesokan paginya, Poca bangun dengan sangat gembira. Ia menceritakan kepada istrinya tentang mimpinya dan benar saja isterinya Nalas sedang mengandung. Poca dan Nalas sangat bahagia dan bersyukur.

Beberapa bulan kemudian, lahirlah buah hati mereka seorang anak laki-laki yang tampan. Mereka sangat bahagia. Mereka memberi nama Tandang kepada putera kesayangan mereka itu sesuai dengan petunjuk dalam mimpi Poca.

Tandang sudah berumur lima tahun. Ia sangat dicintai oleh kedua orang tuanya. Setiap hari mereka hidup bahagia dengan bercengkrama mesra bersama. Hari-hari menjadi sangat berarti dan begitu indah dengan kehadiran Tandang di hidup mereka. Mereka mengasuh Tandang dengan penuh kasih sayang.

Mori De Kraeng kembali ingin menguji kesetian Poca. Kali ini ujian yang akan dihadapi sangat berat. Saat itu musim kemarau datang. Akar-akaran yang biasa mereka makan sudah sulit ditemukan karena banyak pepohonan yang mati kekeringan. Hewan-hewan yang biasa mereka buru juga sulit didapatkan karena saling diperebutkan oleh hewan-hewan buas lainnya. Mereka terancam mati kelaparan. Sisa makanan di lumbung mereka hanya tinggal sedikit saja. Poca sebagai penanggungjawab keluarga menjadi sedih. Ia tidak tega melihat anak dan isterinya kelaparan. 

Ia berlutut dan berdo’a sambil menangis,

“Ya, Mori. Saat ini kami kekurangan makanan. Akar-akaran dan hewan buruan susah kami dapatkan. Berikanlah kami makanan untuk dapat menjalani kehidupan kami, ya Mori!” pintanya.

Suatu malam, dalam tidurnya Poca bermimpi kembali didatangi oleh dua malaikat berpakaian putih bercahaya dalam mimpinya malaikat itu sambil menunjuk suatu daerah di atas bukit di dekat Tanah Lewar berkata kepada Poca:

“Tebanglah pepohonan yang berada di atas bukit itu, Poca!”

Keesokan harinya, tanpa mengerti dari maksud mimpi itu Poca berbegas menuju daerah seperti ditunjuk oleh malaikat dalam mimpinya. Ia bekerja keras menebang pepohonan di atas bukit itu dan membersihkan semua rerumputan yang ada di sana. Ia percaya bahwa ada maksud baik Tuhan bagi mereka yang berharap hanya kepada-Nya tanpa harus mempermasalahkan maksud dari semua perintah-perintah-Nya. 

Poca kembali ke rumahnya setelah sore hari dan menceritakan mimpinya semalam kepada Nalas. Akan tetapi semakin hari persediaan makanan semakin menipis. Mereka sangat khawatir akan keberlangsungan hidup mereka. Mereka tidak dapat berbuat apa-apa hanya bisa mengharapkan keajaiban dari Tuhan. Segala upaya telah mereka tempuh untuk bisa mendapatkan makanan. Namun usaha mereka sia-sia.

Pada malam selanjutnya, Poca kembali bermimpi dan kali ini mimpinya sangat berbeda dan membuat Poca menjadi bahagia sekaligus sangat sedih. Ia kembali didatangi oleh kedua malaikat Tuhan.

“Poca, Mori De Kraeng mendengar do’amu. Dia tahu bahwa kalian membutuhkan makanan. Mori akan memberikannya kepada kalian asalkan kamu mengorbankan putramu, Tandang!” kata salah satu malaikat itu.

“Buatlah altar dari batu-batuan di atas bukit yang telah kamu bersihkan itu. Sembelihlah puteramu di atas altar itu. Potong-potong menjadi kecil, kemudian taburkanlah ke arah delapan penjuru mata angin!” kata malaikat yang satunya lagi.

“Aa...” jawab Poca. Ia tidak tahu harus berkata apa. 

Setelah ia bangun, Poca menangis. Istrinya menjadi ikut bersedih tetapi masih belum tahu apa yang sedang terjadi dan menanyakannya kepada suaminya.

“Mengapa kamu menangis, suamiku? Katakanlah apa yang membuatmu sedih?”

“Tidak ada apa-apa, isteriku. Aku hanya kurang sehat saja," jawab Poca menyembunyikan isi mimpinya.

Poca sangat sedih, siang dan malam ia memikirkan perintah malaikat Tuhan yang disampaikan dalam mimpinya. Ia sangat mencintai anaknya, tetapi ia harus melaksanakan perintah dari Mori De Kraeng dan tetap merahasiakan mimpinya dari isterinya. Ia terus berbicara dalam hatinya. 

“Aku sangat mencintai anakku, Tandang. Dia adalah cahaya bagi keluarga kami. Aku tidak sanggup untuk mengorbankan dia. Bagaimana mungkin seorang ayah bisa melakukan hal tersebut terhadap anak yang telah dinantikan bertahun-tahun kehadirannya?” kata Poca dalam hatinya.

“Tetapi aku beriman kepada Tuhan, aku yakin pasti ada rencana yang terbaik menurut kehendak-Nya atas kami!” kata Poca sekali lagi.

Keesokkan harinya, Poca mengajak anaknya ke atas bukit yang telah ia bersihkan. Ia membuat sebuah altar dari tumpukkan bebatuan atau dalam Bahasa Manggarai disebut Compang. Saat tandang sibuk mempersiapkan semuanya, Tandang masih sibuk bermain sampai ia kelelahan. Poca memanggil Tandang untuk beristirahat di pelukan ayahnya. Poca mengelus-elus kepala anaknya dan Tandangpun tertidur pulas. Poca menatap wajah putra kesayangannya dalam-dalam. 

Ketika Poca menidurkan anaknya, malaikat Tuhanpun datang menghampirinya.

“Tibalah saatnya engkau harus mengorbankan putramu, wahai Poca!”

Poca tidak berkata apa-apa dan meletakkan putranya di atas altar. Tiba-tiba sebuah parang tersedia di samping tubuh Tandang. Poca membulatkan hatinya walaupun itu sangat berat untuk dilakukan. Kesetiaannya kepada Tuhan diuji saat ini. Tuhan ingin melihat kesetiaan Poca. 

Saat Poca mengayunkan parang ke arah tubuh Tandang, air mata Poca menetes menyentuh wajah Tandang. Saat itulah tiba-tiba Tuhan menukar tubuh Tandang dengan seekor kambing yang akan dikorbankan di atas altar. Poca memotong kecil-kecil daging kambing itu dan menaburkannya ke arah delapan penjuru mata angin sesuai dengan petunjuk dari malaikat Tuhan tersebut.

Setelah melakukan perintah tersebut, Poca menjadi lega karena tidak kehilangan anak yang sangat dicintainya. Ia segera mengajak Tandang pulang. Setibanya di rumah, Nalas hanya berdiam diri dan keheranan.

Malaikat Tuhan kembali mendatangi Poca dalam mimpinya.

“Setelah tujuh hari kembalilah ke atas bukit pengorbanan itu, wahai Poca!
Dan berilah nama Weriata atas bukit itu!”

Weriata berasal dari Bahasa Manggarai. “Weri” artinya tanam, sedangkan “Ata” artinya manusia. 

Setelah seminggu dari kejadian itu, Poca kembali ke atas bukit Weriata. Dia sangat terkejut. Poca melihat pada delapan penjuru mata angin tempat di mana ia menaburkan potongan daging kambing telah tumbuh bermacam tanaman pangan. Ada padi, timun, pisang, jagung, umbi-umbian dan banyak lagi. Malaikat Tuhanpun datang menghampiri dia dan memberitahu nama-nama tanaman itu. Poca sangat bahagia dan berkata:


“Ini adalah suatu keajaiban! Bagaimana mungkin semua tanaman ini bisa tumbuh di atas bebatuan?”


“Terima kasih, Mori De Kraeng!”

Poca berlari kegirangan pulang ke rumahnya dan mengajak anak dan isterinya untuk melihat apa yang sudah terjadi di atas Bukit Weriata. 

Setibanya di sana, mereka memanen hasil dari tanaman itu dan membawanya pulang. Mereka tidak kelaparan lagi. Akhirnya mereka hidup berbahagia bergelimpangan makanan. 

Tanaman pangan ini menyebar luas sampai ke seluruh pulau Flores. Begitulah asal-usul tanaman pangan di pulau Flores tepatnya di Manggarai.


PENULIS

Posma Sihombing

ASAL CERITA

Manggarai, Nusa Tenggara Timur,

BAHASA

Bahasa Indonesia

KATEGORI

Cerita Rakyat

LABEL

Tidak Ada Label
Favorit

SEMUA TANGGAPAN

v: 2.2.1